Atasi masalah Ketenagakerjaan, NTB kekurangan Pejabat Fungsional Pengantar Kerja.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., menegaskan pentingnya peran jabatan fungsional Pengantar Kerja dalam mendukung penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) saat membuka acara Coaching Clinic Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Pengantar Kerja di Lombok Astoria Hotel, 25-27 September 2024.
Acara Coaching Clinic ini dihadiri oleh 44 peserta dari berbagai instansi terkait, termasuk Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Biro Organisasi, serta para pengantar kerja dari kabupaten dan kota di seluruh NTB. Adapun narasumber berasal dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara dan Programmer aplikasi anjabk.kemnaker.go.id.
Dalam sambutannya, Kadisnakertrans menggarisbawahi bahwa jabatan fungsional Pengantar Kerja memiliki beban kerja yang cukup berat dan membutuhkan perhitungan yang cermat terkait dengan jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan.
“Saat ini, jumlah pengawas di NTB hanya 11 orang, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi mencapai 17.855. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi kita. Selain itu, jumlah mediator di provinsi juga sangat terbatas, hanya ada tiga orang, dan banyak mediator di kabupaten/kota yang telah pensiun,” ungkap Aryadi.
Oleh karena itu, kasus perselisihan hubungan industrial sering kali diserahkan ke provinsi karena kabupaten/kota tidak memiliki mediator. Hal ini tentu memprihatinkan apalagi jabatan fungsional pengantar kerja adalah salah satu posisi yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan sektor tenaga kerja. Jabatan fungsional lain yang juga sangat penting adalah pengawas ketenagakerjaan.
“Kita juga memiliki kekurangan dalam jumlah pejabat fungsional penguji, yang tugasnya adalah memastikan keselamatan dan kesehatan kerja di berbagai tempat. Saat ini, jabatan ini hanya tersedia di tingkat provinsi, padahal idealnya harus ada juga di tingkat kabupaten/kota,” ungkapnya.
Aryadi mengimbau kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) serta bagian organisasi untuk menghitung dengan tepat kebutuhan jabatan fungsional ini, terutama di daerah-daerah dengan kantong PMI seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Sumbawa. Memang ada 5 jabatan fungsional yang dibutuhkan di Pemprov NTB dan di Kabupaten/Kota se-NTB, yakni Pertama, Pejabat Fungsional Pengawasan ketenagakerjaan. Kedua, Pejabat Fungsional Instruktur. Ketiga, Jafung Pengantar kerja. Keempat, Jafung Penguji K3 dan Kelima, Jafung Mediator.
“Terkait pejabat fungsional pengantar kerja, tugas fungsional sangat besar. Mereka tidak hanya berperan dalam proses rekrutmen, tetapi juga memastikan bahwa calon pekerja, termasuk pekerja migran indonesia (CPMI) mendapatkan akses kerja yang benar dan legal. Tugas ini melibatkan pembinaan dan pendampingan dalam proses rekrutmen dan memastikan bahwa CPMI memenuhi syarat yang ditetapkan,” jelasnya.
Berdasarkan data BPS, Provinsi NTB dengan jumlah angkatan kerja mencapai 3,1 juta jiwa, merupakan pengirim PMI terbesar keempat di Indonesia. Provinsi NTB saat ini memiliki 538 ribu PMI yang tersebar di 108 negara, dengan penempatan terbesar di 18 negara. Tugas pengantar kerja sangat penting dalam memastikan proses rekrutmen dan penempatan PMI berjalan sesuai prosedur, serta mencegah adanya penempatan ilegal.
“Pengantar kerja adalah garda depan dalam memberikan pembinaan kepada calon PMI. Mereka yang akan memastikan proses rekrutmen berjalan sesuai aturan dan memastikan calon pekerja migran mendapatkan pelatihan yang tepat,” lanjutnya.
Aryadi juga menyoroti tantangan dalam penegakan hukum terkait penempatan PMI non-prosedural. Ia menyampaikan bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, peran pengantar kerja semakin strategis dalam memastikan prosedur rekrutmen berjalan sesuai ketentuan. Lebih lanjut, Aryadi menyebutkan bahwa saat ini terdapat 222 kantor cabang perusahaan penempatan PMI di NTB, serta 13 kantor pusat.
“Kita wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan ini. Berapa yang memiliki izin rekrutmen, berapa yang memiliki job order, semua harus diawasi dengan ketat. Jika tidak memenuhi persyaratan, kita tidak akan memberikan rekomendasi perpanjangan izin,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kebijakan yang mewajibkan setiap perusahaan penempatan PMI untuk memiliki kantor cabang di NTB. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah adanya penempatan non-prosedural yang sering terjadi ketika proses rekrutmen dilakukan di luar daerah tanpa pengawasan yang memadai.
“Mulai tahun 2021, kita mewajibkan seluruh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (B3IG) memiliki kantor cabang di NTB. Ini untuk memastikan bahwa proses rekrutmen PMI dilakukan sesuai prosedur, dan kita bisa memantau dengan baik,” jelas Aryadi.
Kadisnakertrans NTB juga menekankan perlunya peningkatan kompetensi pejabat fungsional Pengantar Kerja, termasuk pelatihan dalam menjadi saksi ahli di persidangan terkait kasus-kasus penempatan non-prosedural. “Pengantar kerja harus dilatih dan diberi kemampuan lebih, termasuk dalam memberikan kesaksian ahli di persidangan. Ini tugas yang tidak mudah, namun sangat penting untuk memastikan keadilan bagi pekerja migran kita,” ujarnya.
Selain itu, Aryadi juga menyampaikan bahwa tugas pengantar kerja meliputi pembinaan terhadap petugas antar kerja dari perusahaan yang melakukan rekrutmen PMI.
“Pejabat fungsional Pengantar Kerja juga harus mampu membina petugas antar kerja dari perusahaan, memastikan mereka menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak menyalahgunakan informasi atau kewenangan,” tambahnya.
Pada akhir sambutannya, Kadisnakertrans Provinsi NTB berharap bahwa melalui kegiatan Coaching Clinic ini, akan ada perhitungan yang lebih tepat terkait kebutuhan dan beban kerja pejabat fungsional Pengantar Kerja. Ia menekankan bahwa keberhasilan dalam meningkatkan jumlah dan kualitas pejabat fungsional ini akan berdampak langsung pada upaya menekan angka penempatan PMI non-prosedural serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja NTB.
“Harapan kami, melalui Coaching Clinic ini, analisis beban kerja dan kebutuhan jabatan fungsional Pengantar Kerja dapat dihitung dengan baik. Ini penting untuk memastikan bahwa kita bisa memberikan perlindungan maksimal bagi para pekerja kita, termasuk Pekerja migran Indonesia.” pungkas Aryadi.