Cegah PMI Non Prosedural, Edukasi Harus Masif dan Semua Jalur Harus Diperketat.
Penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Disnakertrans, tetapi juga lintas sektoral. Kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi dan mendesiminasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural.
Untuk mencegah terjadinya kasus PMI non prosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat.
“Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker Provinsi dan Kabupaten Kota, hingga desa dan dusun, melibatkan stakehorlder terkait, yaitu: BP2MI, TNI-Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsen terhadap buruh migran indonesia,” ujar Kadis Nakertrans Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, MH saat menjadi narasumber pada saat Kunjungan kerja dan audiensi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan di NTB pada Ruang Rapat Anggrek Kantor Gubernur NTB, Kamis (29/9/2022).
Berdasarkan data, PMI prosedural saat ini berjumlah 535.000 orang di 108 negara penempatan dan 70% PMI bekerja di negara Malaysia, yang kedua adalah negara-negara Timur Tengah. Dari jumlah tersebut, PMI bermasalah yang ditanganinya pada tahun 2021-2022 ini sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut jauh menurun jika dibandingkan jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang. Jumlah kasus yang terdapat sampai Bulan September Tahun 2022 sebanyak 881 kasus, dengan rincian 457 kasus dialami oleh perempuan dan kasus terbanyak terjadi di Timur Tengah.
“Penurunan kasus PMI unprosedural tidak lepas dari adanya program yang dicanangkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTB pada tahun 2020, yaitu Zero Unprosedural PMI dan peran stakedolhers terkait yang terus melakukan edukasi masif kepada masyarakat tentang bekerja di luar negeri,” kata Aryadi.
Dalam pemaparannya sebagai narasumber, Aryadi mengungkapkan bahwa muculnya PMI non prosedural dipicu oleh 5 modus. Pertama, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tempatnya bekerja sehingga menjadi ilegal. Ketiga, PMI legal tetapi setelah di negara penempatan terlibat kasus kriminal. Keempat, PMI berangkat secara produral tetapi saat memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur sehingga menjadi ilegal. Terakhir PMI yang memiliki track record tidak bagus, sudah diblack list negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara non prosedural.
Selain Aryadi juga menjelaskan bahwa modus PMI non prosedural juga dipicu karena di sejumlah negara penempatan memberlakukan kebijakan konversi visa. “Celah inilah yang dimanfaatkan oleh para calo/tekong,” tegas mantan Kadikominfotik NTB itu.
Ia menjelaskan PMI non prosedural biasanya berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umroh atau visa suaka kemudian setibanya di negara penempatan, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.
“PMI yang berangkat dengan jalur non prosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO. Bahkan PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya,” ungkap Aryadi.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal. Oleh karena itu, saat ini pemerintah Indonesia sedang melakukan uji coba OCS ini di negara penempatan lainnya.
“Kami sedang coba proses rekrutmennya untuk negara penempatan Timur Tengah apakah OCS ini bisa berhasil, terutama untuk sektor domestik,” ujarnya.
Perwakilan BP3MI NTB, Made Setyaningrum menyampaikan penurunan kasus PMI Unprosedural salah satunya disebabkan oleh dibukanya penempatan negara Malaysia. Seperti diketahui hampir 70% PMI bekerja di Malaysia. Jadi selama pandemi covid-19 penempatan negara Malaysia ditutup, sehingga banyak PMI berangkat melalui jalur tikus,” ujar Made.
“Sebelum negara penempatan Malaysia dibuka, hampir setiap minggu BP3MI menangani kasus pemulangan PMI unprsedural, tetapi sekarang jumlahnya jauh berurang,” ujar Made.
Berdasarkan data, tahun 2021 PMI yang bekerja diluar negeri sebanyak 581 orang, sedangkan tahun 2022 ini sudah mencapai 3970 orang. Kasus PMI yang mengalami pelecahan seksual tahun 2022 sebanyak 2 kasus dan sedang dalam proses. Sedangkan, untuk kasus TPPO sudah selesai dan korbannya telah kembali ke negara asal.
BP3MI terus berkoordinasi dan sosialisasi dengan instansi pemerintah maupun dengan NGO untuk mengedukasi masyarakat agar bermigrasi dengan aman. Kami juga ikut bergabung kegiatan posyandu keluarga untuk mensosialisasikan informasi bahwa bekerja di luar negeri boleh tetapi harus sesuai dengan prosedur. Selain itu, BP3MI juga berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memberikan informasi daftar P3MI yang memiliki ijin dan memiliki job order.
Tahun 2022 ini, BP3MI bekerjasama dengan BPVP Lotim untuk pelatihan persiapan PMI untuk penempatan negara Jepang dan Korea. Sebenarnya penempatan untuk negara Korea cukup banyak dan persyaratannya tidak sulit. Pelatihan persiapan tersebut, berupa kelas bahasa yang dibuka sejak bulan Agustus 2022 dengan 7 kelas bahasa Korea dan 2 Kelas Bahasa Jepang. Selanjutnya CPMI yang sudah mendapatkan pemantapan bahasa bisa mengkuti skema G to G dengan penempatan negara Jepang untuk menjadi perawat dan Korea di industri manufaktur.
“Adanya pelatihan diharapkan CPMI memiliki skill yang baik sehingga tidak mengalami masalah ketika di Negara penempatan,” harapnya.
Dinas Sosial NTB Armansyah menjelaskan selama 4 tahun terakhir dari 2018-2022 Dinas Sosial NTB sudah melakukan pendampingan kepada 224 PMI bermasalah. Pendampingan ini tidak hanya untuk PMI itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga terutama anak-anak agar traumanya bisa berkurang.
Armansyah juga memaparkan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial NTB, diantaranya melakukan pemberdayaan sosial ekonomi bagi perempuan dengan memberikan bantuan peralatan dengan sistem berkelompok. Selain itu, ada juga kegiatan perlindungan sosial dengan memberikan penyuluhan bagi ibu agar tidak tergiur untuk bekerja ke luar negeri dengan cara unprosedural.
“Kami libatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan stakeholders lainnya agar bisa meyakinkan masyarakat terutama ibu-ibu agar tidak bekerja ke luar negeri secara unprosedural,” jelas Arman.
Soeharmanto, Komisioner KPAP NTB mengungkapkan bahwa kasus di NTB ini capaian penemuan kasus baru tahun 2022 sebanyak 2621 atau 44,81% dari target atau estimasi 5900 kasus. Ini merupakan PR karena belum mencapai 50%. Kasus yang tertinggi ada dari pihak swasta sebanyak 542 kasus, dan disusul oleh Ibu Rumah Tangga sebanyak 462 kasus, karena banyak Bapak Rumah Tangga yang ketika bekerja di luar, tidak setia dan jajan sembarangan, sehingga istrinya terkena dan jika hamil anaknya juga ikut terkena.
“Karena itu perlu ada regulasi agar PMI didata dan discreening tidak hanya pada saat keberangkatan saja, tetapi juga saat kepulangan sehingga berangkat sehat, pulang juga sehat,” ujar pria yang akrab disebut Manto ini.
Seringkali ketika mengirim PMI ke Negara Orang, dilakukan pengecekan kesehatan secara ketat, karena pemerintah negara penempatan sangat ketat melindungi warganya. Tapi PMI ketika kembali ke Indonesia, sangat kurang pemeriksaannya, artinya apa, perlindungan kita terhadap warga di negeri sendiri masih kurang.
Pada sesi diskusi, Setyawanti dari Komnas Perempuan turut mempertanyakan terkait regulasi keberangkatan dan kepulangan untuk screening HIV/AIDS.
“Regulasi di NTB terkait penampungan seperti apa? Kemudian jika ada pelanggaran apakah ada mekanisme tertentu?” tanya Wanti.
Menjawab hal ini Kadisnakertrans Provinsi NTB mengungkapkan bahwa dalam UU No. 18 Tahun 2017 sudah tidak ada lagi istilah penampungan, yang ada yaitu peningkatan kompetensi yang dilakukan oleh Balai atau Lembaga Pelatihan.
Di NTB ada BPVP (Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas) dengan kapasitas 2.000-an hampir 4.000. Selain itu, NTB juga punya 8 BLK Pemerintah dan 227 LPS. Regulasinya pelatihan harus dilaksanakan di Provinsi ini dengan yang berdomisili dekat tidak perlu di asramakan sehinga tidak perlu lagi penampungan. Untuk regulasi sebelum pemberangkatan ada OPP (Orientasi Pra Penempatan).
“Jika terjadi kasus itu adalah orang-orang yang berangkat secara nonprosedural ke Jakarta ngaku bertemu keluarga di sana di tampung di rumah pribadi, ruangan yang harusnya di isi 2 orang malah di isi 10 orang. Itulah yang disebut penampungan. Tapi kalau prosedural tidak ada istilah penampungan,” jelas Aryadi.
Selain itu, mengacu pada UU 18 Tahun 2017, Permenaker, dan Pergub 2019, ditetapkan bahwa seluruh perusahaan yang ingin merekrut warga NTB wajib mempunyai kantor cabang di NTB. Sehingga saat ini ada 100 kantor cabang Perusahaan P3MI dan 13 Perusahaan yang memiliki kantor Pusat di NTB.
Untuk monitoring terhadap perusahaan ini, Disnakertrans meminta laporan setiap 3 bulan sekali sehingga pemerintah bisa memantau dan jika ada permasalahan pengawas akan turun tangan. Berdasarkan fakta, permasalahan PMI nonprosedural ini bukan dari perusahaan, tetapi oknum yang bermain tetapi mengatasnamakan perusahaan.
“Memang ada perusahaan yang mengalami kasus gagal berangkat. Misalnya ke Polandia karena Polandia ini memakai system gambling dalam proses pemberangkatannya. Jadi tidak ada kepastian kapan berangkatnya. Sejak saat itu, kami melarang dan bahkan merekomendasikan PT tersebut untuk ditutup dan tidak boleh melakukan rekrutmen ke Polandia,” ungkap Aryadi.
Karena itu, semua pintu harus dilakukan pemantauan, selain dari Disnakertrans juga perlu pemantauan paspor dari Imigrasi. Karena faktanya ada eksodus, orang Lotim tidak bisa mengurus paspor di Lombok, tapi bisa mengurus paspornya di Sumbawa. Ada sejumlah kasus yang seperti ini berangkat ke TimTeng, Suriah. Mereka didata sebagai pengusaha di paspornya. Padahal jelas-jelas mereka masyarakat tidak mampu.
Jika perlu ada tahapan untuk melakukan identifikasi di imigrasi saat wawancara atau mungkin ditambahkan persyaratannya harus diketahui atau direkomendasikan kepala desa untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Sehingga masyarakat yang pergi bekerja ke luar negeri dapat dipastikan adalah orang yang memang punya kompetensi.
“Informasi mengenai Job Order, Perusahaan yang memiliki izin untuk merekrut, negara penempatan yang buka, sekarang kami sebar dan buka di desa dan media sosial agar masyarakat mudah mendapatkan informasi. Akhir-akhir ini juga banyak masyarakat yang bertanya apakah perusahaan A atau B ini legal atau tidak, artinya sudah mulai ada kesadaran untuk berangkat secara prosedural,” ujar Aryadi.
Azizah dari Komnas Perempuan mempertanyakan untuk regulasi pembiayaan bekerja di luar negeri bagaimana? Misalnya untuk ke Malaysia berapa, ke Saudi berapa?
Menjawab hal tersebut, Aryadi menjelaskan bahwa saat ini ada dua peraturan, ada yang zero cost dan tidak. Ada 10 sektor yang zero cost, namun sektor yang sudah mampu menerapkan hal itu baru sektor ladang. Perkebunan sawit itu zero cost artinya biaya saat proses rekrutmen dan penempatan ditanggung oleh perusahaan user. Contohnya di Malaysia, dalam MoU antara Indonesia dan Malaysia bahwa proses penempatan mulai pengurusan administrasi itu ditanggung oleh perusahaan pengguna yang ada di Malaysia.
“Tapi dalam praktek di sini, memang ada di awal perusahaan yang membebankan biaya administrasi kepada CPMI sebagai bentuk komitmen. Tapi biaya tersebut kemudian dikembalikan saat pemberangkatan. Namun tidak semua sektor zero cost karena perusahaan user belum mampu dan belum mau. Sehingga BP2MI memberikan opsi untuk pinjaman melalui KTA atau KUR, hanya saja ini baru diterapkan di Jakarta saja, di NTB belum diterapkan,” jelas Aryadi.
Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan mempertanyakan apakah perusahaan P3MI yang memiliki kantor di sini harus memiliki balai pelatihan di sini atau di tempat lain lalu bagaimana mekanismenya?
Menjawab pertanyaan tersebut, perwakilan BP3MI Made Setyaningrum menyampaikan bahwa tidak semua P3MI memiliki BLK, hanya ada beberapa P3MI yang memiliki BLK yang memang mereka melaksanakan pelatihan di sini. Sementara yang lain mungkin ada yang bekerja sama dengan Balai Vokasi untuk melatih CPMInya, tapi di system Sisko belum mandatori untuk kewajiban kompetensinya, sehingga jika belum ada sertifikat kompetensi untuk sektor formal masih bisa diproses.
Kadisnakertrans Provinsi NTB menambahkan bahwa perizinan BLK ada di kab/kota. Setelah dia berdiri, dia akan melalui proses akreditasi oleh (LAN) Lembaga Akreditasi Nasional dan di daerah dibentuk KA (Komite Akreditasi) yang terdiri dari salah satu anggotanya Kadisnakertrans. Anggota KA ini adalah orang-orang professional yang memiliki kompetensi untuk melakukan akreditasi.Ada pembagian tugas antara LAN dengan KA. Yang diakreditasi adalah programnya, bukan lembaganya. Ada 8 instrumen untuk akreditasi, yaitu: Tempat, Peralatan, Instruktur, Modal dan lain-lain.
“Dari 227 LPKS itu, belum semua terakreditasi. Yang sudah diakreditasi sekitar 130. Selain LPKS, juga ada namanya BLK Komunitas yang dikelola oleh organisasi keagamaan seperti pesantren, tahun ini itu yang saat ini dilakukan akreditasi oleh LA di bawah binaan kementrian,” ungkap Aryadi.
Terakhir, Martini Elisabeth dari Komnas Perempuan mempertanyakan terkait perusahaan, untuk mendorong penghapusan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, apakah di perusahaan-perusahaan ini sudah mulai didorong, apakah ada SOP, mekanisme supaya tidak ada kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja?
Menjawab hal itu Aryadi mengungkapkan bahwa pemerintah selaku pengawas banyak melakukan kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan, dan instansi lain baik di pusat maupun di daerah.
“Kita duduk bersama, membentuk forum diskusi, secara langsung maupun melalui zoom, itu kita manfaatkan untuk sosialisasi untuk mendorong penghapusan kekerasaan dan pelecehan seksual,” tutupnya.