Dari FGD UU Cipta Kerja : “Dibutuhkan UU yang menghadirkan keadilan bagi pekerja dan pengusaha”.
Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) atau UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI disebut sebagai undang-undang sapu jagat atau omnibus law.
Tujuan utama UUCK adalah untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah.
Walau telah disahkan DPR, terdapat cacat formal dalam proses perundangan berupa perubahan isi materi UU yang dapat berimplikasi pada hukuman Pidana sehingga oleh Mahkamah Konstitusi UU tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang harus diperbaiki hingga maksimal 25 November 2023.
Kementerian Tenaga Kerja melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengadakan kegiatan Dialog Pelaksanaan UU Cipta Kerja Bidang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Hotel Lombok Raya, Rabu (27/07/2022).
Dalam kegiatan tersebut 30 orang peserta dari unsur serikat pekerja, serikat pengusaha, pejabat struktural dan fungsional bidang hubungan industrial kerja hadir untuk meningkatkan pemahaman dan menyamakan persepsi para pelaku hubungan industrial mengenai UU Cipta Kerja khususnya bidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Kadisnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menyebutkan bahwa meski UUCK ini sudah diundangkan dan uji formil, Pemerintah tetap akan menjalankan UUCK mengikuti aturan turunan yang sudah dikeluarkan dan melakukan perbaikan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Karena itu disini kita perlu menyamakan persepsi dan diskusi dengan baik untuk melakukan perubahan atau memperbaiki isi UU Cipta Kerja,” ucap Gede.
Bicara tentang hubungan industrial, pemerintah NTB memiliki kepentingan yang besar untuk memastikan terwujudnya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan. Sebab menurutnya perlindungan terhadap pekerja dan kehadiran perusahaan, sama penting dan strategisnya.
“Tidak ada perusahaan yang maju dan menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi bangsa tanpa tersedianya pekerja atau SMD yang kompeten dan terlindungi hak-haknya. Sebaliknya tidak akan ada peluang kerja bagi masyarakat, tanpa ada perusahaan yang bisa menyerap pekerja,” terang mantan irbansus pada inspektorat NTB itu.
Karena itu, ia menegaskan komitmennya sebagai pembantu Gubernur akan terus bekerja memastikan seluruh hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha seimbang dan semuanya terlindungi sehingga tidak terjadi perselisihan.
” Dalam konteks inilah dibutuhkan panduan hukum yang bisa menghadirkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi keberlangsungan hubungan industrial yang baik, antara pekerja dan pengusaha” tegasnya.
Gede menjelaskan 2 tahun terakhir ada beberapa masalah hubungan industrial yang sangat menonjol di NTB yaitu, perselisihan hak dan PHK. Ada sekitar 156 kasus dengan rincian sebagai berikut: 49 kasus untuk tahun 2021 dengan 41 kasus selesai dan 8 kasus masih dalam proses. Sedangkan, untuk tahun 2022 ada 29 kasus, dengan rincian 13 kasus selesai dan 16 kasus masih dalam proses.
Narasumber yang hadir pada kegiatan tersebut, Mediator HI Ahli Madya Dr. Reytman Aruan, S.H., M.Hum., M.M., M.H. dalam pemaparannya menjelaskan bahwa perselisihan hubungan industrial (HI) sering terjadi di dalam dunia industri, seperti perselisihan hak, karena tidak dipenuhi haknya dan perselisihan kepentingan karena adanya pembuatan atau perubahan syarat-syarat bekerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
“Itu sebabnya perusahaan/pengusaha dan pekerja harus saling mengisi dan melengkapi. Perusahaan/pengusaha kewajibannya membayar upah, THR, hingga mengikut sertakan pekerja atas jaminan sosial, dan lain-lain. Sedangkan bagi pekerja, kewajibannya melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan menjaga hubungan industrial yang harmonis,” jelas Reytman.
Selain itu, hak-hak yang harus didapat bagi pekerja seperti yang kita pahami antara lain, hak atas upah, jaminan sosial, THR, cuti, pesangon dan lainnya. Perusahaan pun juga layak mendapatkan haknya seperti, hak atas hasil pekerjaan dari pekerjanya.
Dalam isu aktual hubungan kerja tidak hanya berkaitan dengan hak/kewajiban saja, tapi perlu kita tahu tentang kriteria pada usaha mikro dan kecil. Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 2021 tanggal 02 Februari 2021, tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
“Usaha mikro dan kecil tidak wajib membayar upah sesuai ketentuan upah minimum, melainkan bisa disepakati bersama antara pekerja dan pengusaha, tapi tetap ada batasannya yaitu besarannya paling sedikit 50% di atas rata-rata konsumsi masyarakat ditingkat provinsi dan paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan,” ungkap Reytman.
Sementara itu, Dosen Hukum Universitas Jenderal Soedirman Jakarta, Dr. Siti Kunarti, S.H, M. Hum, mengungkapkan bahwa perselisihan yang dimaksud dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) adalah perselisihan antara pelaku produksi, yaitu pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha atau serikat pengusaha. Jenis perselisihannya antara lain: perselisihan hak, perselisihan PHK, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar SP/SB. Sesuai Pasal 3 ayat 1 UU No 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun sayangnya seringkali kata wajib belum disadari para pihak berselisih.
Lebih lanjut, Kunarti menyebutkan bahwa jumlah tenaga mediator sangat kurang dimana saat ini di NTB sendiri jumlah mediator hanya 8 orang dengan jumlah perusahaan 9.000 dan pekerja 125.000 orang. Bahkan ada Kab/Kota yang tidak ada mediator seperti Kabupaten Lombok Timur, Sumbawa Barat, Dompu, dan Kota Bima. “Idealnya jumlah mediator yang dibutuhkan sebanyak 30-35 di NTB ini. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk menciptakan Hubungan Industrial yang harmonis,” ujarnya.