Disnakerkertrans NTB ajak Semua Pihak Aktif mencegah PMI Non Prosedural.

Penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Disnakertrans, tetapi juga lintas sektoral. Kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi dan mendesiminasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural. Aparat Pengawas Ketenagakerjaan bersama stakeholder terkait lainnya, termasuk pemerintah Desa dan dusun harus terus menerus tanpa lelah dan masif mengedukasi warga, dan tidak boleh kalah dari calo atau mafia.
Untuk mencegah terjadinya kasus PMI non prosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat. Fungsi bidang pengawasan dan bidang penempatan ketenagakerjaan perlu ditingkatkan.
“Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker Provinsi dan Kabupaten Kota, hingga desa dan dusun, melibatkan stakehorlder terkait, yaitu: BP2MI, TNI-Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsens terhadap buruh migran indonesia,” tegas Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, MH saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Peningkatan Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Proses Penempatan dan Perlindungan PMI Tahun 2022 di Hotel Aruna Senggigi, Senin (15/8/2022).
Peran pemerintah kabupaten/kota sangat penting terutama di desa dan dusun dalam memberikan edukasi kepada warganya agar tidak berangkat dengan jalur non prosedural. Orang yang berangkat ke luar negeri seringkali tidak diikuti informasi yang memadai.
Bahkan di tahun 2022 ini, muncul modus baru dimana calo dalam merekrut CPMI ke desa-desa dengan menggelontorkan uang “FIT”sebesar Rp.5 – Rp.10 juta/orang. Modus Calo datang membawa uang menjadi strategi ampuh untuk menarik minat dari para CPMI dan keluarganya, terlebih tanpa memerlukan dokumen administrasi perjalanan, karena semuanya diurus oleh calo dan jaringannya, ditambah iming iming gaji tinggi yang akan diterima setelah bekerja nanti sangat menggiurkan bagi CPMI kita.
Modus ini membuat CPMI kita lebih percaya kepada Calo dari pada petugas, terlebih bagi mereka yang belum memiliki informasi yang memadai tentang peluang kerja luar negeri, berikut prosedur dan perusahaan resmi yang punya ijin rekrut dan job order serta resiko yang akan dihadapi di negara penempatan nantinya.
Sebaliknya dengan uang yang diterima diawal, CPMI kita malah beranggapan mendapatkan majikan yang baik dan royal, karena belum kerja saja sudah dapat uang.
Padahal uang “FIT” tersebut merupakan jerat awal bagi CPMI, karena kenyataannya nanti setelah di negara penempatan, mereka akan diekploitasi dan disiksa, bekerja tanpa mengenal batas waktu, bahkan tidak digaji karena majikan sudah membayar upah/gaji kepada calo/mafia diawal.
“Permasalahan PMI ini menyangkut masalah nyawa manusia. Karena itu, kita harus bersinergi bersama untuk mencari solusi setiap permasalahan PMI baik dari Hulu hingga ke hilir, termasuk bagaimana kita bisa mengamputasi langkah para calo ini, dengan membentengi warga kita pemahaman yang baik tentang kesempatan kerja luar negeri ” kata Gede.
Di hulu, informasi terkait pasar kerja luar negeri, data mengenai Job Order dan P3MI yang resmi akan dibuat lebih mudah diakses oleh seluruh masyarakat dengan cara membentuk Fasilitas Pusat Informasi Migran pada Desa Desimigratif Mandiri.
“Kami akan bentuk Pusat Informasi Migran di Desimigratif Mandiri sebagai pioneer untuk mensosialisasikan dan mengedukasi warga mengenai informasi tentang pasar kerja luar negeri. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tugas Pemerintah Desa yang tercantum di UU No. 18 Tahun 2017,” ujar Gede.
Berdasarkan data, PMI prosedural saat ini berjumlah 535.000 orang di 108 negara penempatan dan 70% PMI bekerja di Negara Malaysia, yang kedua adalah negara-negara Timur Tengah. Jumlah remitansi yang dikirimkan oleh PMI untuk keluarganya setiap tahunnya mencapai Rp 1,5 T. Dari Bulan Januari-Mei 2022 sebesar 500 miliar rupiah lebih, dengan rincian melalui Western Union sebesar Rp 271 miliar dan melalui Bank milik pemerintah sebesar Rp 240 miliar.
Di hilir, permasalahan PMI di negara penempatan timbul karena adanya izin konversi visa. Adanya kebijakan konversi visa yang berlaku di beberapa negara penempatan inilah yang dimanfaatkan oleh calo/tekong.
Biasanya PMI non prosedural berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umroh atau visa suaka kemudian setibanya di negara penempatan, dengan adanya kebijakan konversi visa, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.
“PMI yang berangkat dengan jalur non prosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO. Bahkan PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya,” ungkap Gede
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal.
“Kita harap Pemerintah Indonesia dapat membuat sistem yang sama di negara lain yang masih mengizinkan konversi visa dengan harapan kita bisa ikut mengawasi,” harapnya.
Dalam pemaparannya sebagai narasumber, Gede mengungkapkan bahwa permasalahan PMI ini terdiri dari 4 kasus. Pertama, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tanggung jawabanya untuk bekerja sehingga menjadi ilegal. Ketiga PMI legal berangkat secara produral tetapi memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur sehingga menjadi ilegal. Terakhir PMI yang memiliki track record tidak bagus, sudah diblack list negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara non prosedural.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan pada proses pra penempatan di hulu yaitu saat rekrutmen dan pengurusan dokumen. “Saya berharap kepada pihak imigrasi agar lebih selektif untuk menerbitkan paspor, khususnya bagi warga desa yang mengajukan paspor/visa kunjungan. Karena paspor kunjungan inilah yang seringkali digunakan untuk bekerja secara non prosedural,” pungkasnya.
Sementara itu, Pengawas Ketenagakerjaan Kemnaker RI Muh. Nico mengapresiasi Kadisnakertrans Provinsi NTB. “Saya tumben melihat Kadisnaker yang sangat kompeten dan benar-benar paham luar dalam tentang permasalahan PMI dari hulu hingga hilir,” pujinya.
Dari pemaparan Kadis, gambaran kalau penempatan secara prosedural saja tidak terlepas dari masalah apalagi non prosedural. Karena itu ia berharap pemerintah Desa dapat menjadi Garda terdepan yang menjadi paling dekat dengan masyarakat untuk memeriksa dan mengawasi.
Nico menyarankan agar pemerintah desa seharusnya lebih peka terhadap warganya yang akan berangkat ke luar negeri. Jangan sampai pemerintah desa ikut dalam pola permainan yang dilakukan oleh calo/tekong.
“Pengawas ketenagakerjaan berhak untuk memverifikasi apakah ada potensi bahwa penempatan PMI tersebut non prosedural,” ujar Nico.
Sub. Koord. Pemeriksaan Norma Pelatihan dan Penempatan Dirjen. Binwasnaker Kemnaker RI M. Rizki mengungkapkan Berdasarkan pengalaman Kemnaker selama melakukan sidak di penampungan CPMI non prosedural dengan negara tujuan Timur Tengah, rata-rata PMI tersebut di tempatkan di kamar ukuran 3×4 meter yang diisi belasan ibu-ibu.
“Jadi, rumah tipe 36 akan diisi sebanyak 59 orang dengan 2 kamar mandi, bahkan carport pun dijadikan tempat tidur,” ujarnya.
Pengawas ketenagakerjaan memiliki keterbasan tidak bisa menahan calo/tekong, pengawas hanya bisa melapor ke pihak berwajib. Namun demikian, laporan yang dilakukan oleh Kemnaker tidak bisa dilanjutkan, karena ada perbedaan definisi TPPO antara kepolisian, kejaksaan dan pengawas ketenagakerjaan. Akhirnya adalah mencabut laporan.
“Pemerintah hanya bisa melakukan pencegahan, ketika sudah sampai ke negara tujuan pemerintah tidak bisa berbuat banyak,karena perbedaan kebijakan antar negara,” jelas Rizki.
PMI yang berhasil diamankan ketika dimintai keterangan rata-rata mengaku kurang memahami informasi pasar kerja luar negeri. Disinilah tanggung jawab pemerintah desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan PMI non prosedural. Pemerintah desa bisa memberikan informasi pasar kerja dalam dan luar negeri.
Selama FGD Peningkatan Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Proses Penempatan dan Perlindungan PMI Tahun 2022 sejumlah peserta mengajukan pertanyaan dan memberi masukan, diantaranya:
Kadis. Nakertrans Kab. Sumbawa Budi Prasetiyo yang mengatakan dalam melakukan pencegahan PMI non prosedural dibutuhkan langkah konkrit, jadi satgas PMI perlu ada sampai di tingkat desa.
Kadis. Nakertrans Kab. Lombok Utara Dende Dewi meminta Kemnaker untuk memberikan prioritas ke kabupaten agar bisa dilaksanakan di sektor hulu.
Sekdis. Nakertrans Kab. Dompu menyampaikan sosialiasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat harus terus digalakkan, Disnakertrans Kab. Dompu akan memasang informasi terkait pasar kerja luar negeri sampai ke desa-desa, terutama desa yang menjadi kantong PMI.
Hal senada disampaikan oleh Perwakilan Dinas Nakertrans Kab. Lombok Timur Ahmad Wardi bahwa sosialisasi harus dilakukan secara masif dan terus-menerus. Penting untuk membuat desa desmigratif per kabupaten/kota sebagai pusat informasi migran.
Perwakilan BP2MI R. Joned mengatakan kasus People Smuggling lebih sulit dari pada kasus TPPO, karena dalam kasus tersebut CPMI sendiri yang ingin bekerja ke luar negeri. Berdasarkan data BP2MI, Tahun 2021 jenazah yang datang 101 dan hanya 2 PMI prosedural. Sedangkan, tahun 2022 jenazah yang datang 46 dan hanya 2 PMI procedural.
Menanggapi pernyataan dan saran yang disampaikan oleh peserta, Kadis Nakertrans NTB menyampaikan Pengantar Kerja bisa menjadi solusi dalam mengedukasi, mendesiminasi dan mendampingi CPMI, bagaimana menyiapkan diri, menyiapkan soft skill dan hard skill sehingga bisa mengakses dan mengisi peluang kerja yang tersedia. “Terlebih jika ada pejabat pengantar kerja atau petugas pendamping di desa yang bisa berperan sebagai petugas ketenagakerjaan untuk mengedukasi masyarakat tentang dunia kerja , maka akan dapat mengurangi jumlah PMI non prosedural.