Disnakertrans NTB ajak LSM duduk bersama rumuskan konsep Perlindungan bagi PMI.
Berdasarkan data dari World Bank tahun 2017, selama tahun 2016-2020 terdapat 9 juta PMI yang bekerja di 200 negara penempatan. Pada kurun waktu tersebut, Provinsi NTB memberangkatkan sekitar 251.356 orang PMI. Proporsi PMI untuk PMI perempuan sekitar 60-70% yang bekerja disektor informal atau sektor domestik.
Dari data tersebut, Provinsi NTB menjadi Provinsi pengirim PMI terbesar ke-4 seluruh Indonesia di bawah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun demikian, Prov. NTB juga memiliki permasalahan PMI yang sangat kompleks. Menurut Aryadi hampir semua kasus yang menimpa PMI kita di Luar Negeri berawal dari hulu, yaitu mereka yang berangkat secara ilegal.
Rata-rata mereka diberangkatkan oleh jaringan sindikat dengan menggunakan paspor wisata, bahkan datanya dipalsukan, mereka berangkat dengan identitas sebagai Pengusaha. Setibanya di negara tujuan, misalnya Abudabhi, kemudian sesuai ketentuan di negara tersebut, mereka dibolehkan mengurus visa kerja dan ijin tinggal, sehingga menjadi legal.
“Ada puluhan kasus yang menimpa PMI kita yang mulanya berangkat secara ilegal, kemudian setelah di negara penempatan menjadi legal. Namun, belum selesai kontrak dengan majikan, sudah melarikan diri, karena mendapat perlakuan buruk atau gaji tidak dibayarkan,” jelas Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, MH saat menjadi narasumber pada acara FGD Pembentukan dan Penguatan Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK-PMI) di Prov. NTB di Hotel Lombok Astoria, Rabu (10/11/2021).
Dalam upaya mewujudkan Program Zero Uprosedural PMI dengan menempatkan desa dan kegiatan posyandu keluarga sebagai pusat informasi dan edukasi kepada masyarakat dianggap sebagai solusi terbaik untuk mencegah pemberangkatan secara non prosedural. Oleh karena itu, perlu upaya pencegahan dari hulu, yakni desa dan dusun, tegas Aryadi.
PMI perempuan yang bekerja di luar negeri tingkat pendidikan terbanyak adalah SMP, disusul terbanyak kedua adalah SD. Dengan kondisi pendidikan yang rendah, kata mantan Humas Pemkab Bina itu menyebabkan mereka tidak memahami terkait perjanjian kerja, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, kurang memiliki kepribadian atau pasrah. “Dengan tingkat pendidikan yang rendah, akan sangat mudah ditipu oleh calo atau cukong,” terang Mantan Irbansus pada Inspektorat Prov. NTB.
Bahkan kata Aryadi, Informasi tentang peluang kerja luar negeri masih rendah, jangankan masyarakat, kepala desa pun tidak mengetahui tentang informasi tersebut. Jadi, tidak heran sponsor atau calo bisa memanfaatkan kelemahan tersebut.
Dengan mengetahui peta masalah yang memicu kasus PMI unprosedural tersebut, tegas Aryadi harapannya kedepan, akan bisa disusun konsep penanganannya secara konkrit yang mampu menjawab persoalan yang ada secara tuntas.
Setelah mendengarkan sejumlah masukan konstruktif dari para pimpinan NGO atau LSM seperti SBMI, PBHBI, SPMI Lombok Tengah, Lotim dan KSB, Aryadi mengajak seluruh jajaran lembaga swadaya masyarakat tersebut, untuk komit dan kompak melakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak terjebak lagi dengan janji manis mafia, sehingga tidak ada lagi CPMI kita yang jadi korban karena berangkat secara non prosedural.
“Jika bapak/ibu punya masukan, setiap saat WA saya terbuka menerima masukan dan kantor Disnakertrans NTB terbuka juga menerima kunjungan bapak/ibu , jika berkenan untuk duduk bersama merumuskan konsep perlindungan bagi PMI kita,” pungkas Aryadi yang disambut tepuk tangan oleh peserta diskusi.
Pada kesempatan yang sama, Kepala UPT BP2MI Mataram Abri Danar Parabawa memaparkan beberapa permasalahan yang dialami oleh PMI, antara lain: kebanyakan PMI bekerja untuk membayar hutang, penipuan pada saat penempatan PMI, terlibat dalam kasus ekstrim/radikal, dan terjerat dalam kasus TPPO.
CPMI Unprosedural selama tahun 2020 sekitar 66 orang, dengan laki-laki sebanyak 48 orang dan perempuan 18 orang. Sedangankan, pada tahun 2021 jumlah CPMI Unprosedural sebanyak 202 orang dengan dengan laki-laki 103 orang dan perempuan sekitar 99 orang.
Dalam upaya pelindungan PMI Unprosedural diperlukan strategi yang dikenal dengan Exit Strategy melalui peningkatan kualitas CPMI, sosialisasi peluang kerja sektor terampil, penguatan peran desa, dan pemberdayaan ekonomi dan sosial.
“Sudah saatnya pemerintah harus kuat dalam memastikan PMI asal NTB bekerja sesuai prosedur dan memiliki kompetensi. Jadi, kedepannya kita harus melatih CPMI untuk meningkatkan kompetensi mereka sehingga PMI tersebut memiliki nilai lebih ketika bekerja di luar negeri,” ujar Abri. Sementara itu, Perencana Ahli Madya pada Asisten Deputi Perlindungan Hal Perempuan (PHP) Pekerja dan TPPO Kemen PPPA RI Tria Rosalina Budi Rahayu, SH memberikan kesimpulan hasil diskusi bahwa perlunya sinergi yang kuat ditingkat hulu, salah satunya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat melalui posyandu dan sekolah, serta bersama OPD terkait memberikan pemberdayaan kepada CPMI dan PMI Purna. (Tim@disnaker).