Disnakertrans NTB Ajak Stakeholder Terkait berinovasi tingkatkan Perlindungan Pekerja.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk perlindungan sosial pekerja rentan/petani/buruh tani tembakau di Provinsi NTB, Disnakertrans NTB bersama Disnaker Kabupaten/Kota, Bappeda Provinsi dan Kab/Kota, serta BPJS Ketenagakerjaan dan BPKAD se-NTB, melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Petani dan/atau Buruh Tani Tembakau Melalui Anggaran DBH CHT di Merumatta Hotel, Senggigi pada hari Sabtu (25/08/2024).
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., dalam sambutannya menyampaikan kondisi perlindungan sosial di NTB yang masih perlu mendapat perhatian serius. Dari 595 ribu pekerja formal, hanya sekitar 60% yang telah terlindungi oleh jaminan sosial. Kondisi lebih memprihatinkan terlihat pada pekerja mandiri atau pekerja rentan, di mana dari 1 juta orang, hanya sekitar 16% yang terlindungi. Karenanya, disnakertrans dan seluruh stakeholder terkait perlu berinovasi dan mencari cara untuk terus bisa meningkatkan perlindungan sosial bagi pekerja kita, terutama pekerja rentan/pekerja informal.
“Cakupan perlindungan sosial bagi pekerja formal dan informal harus segera ditingkatkan. Ketiadaan perlindungan sosial merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya masalah turunan lainnya, termasuk kemiskinan ekstrem,” jelas Aryadi.
Dalam upaya meningkatkan cakupan perlindungan sosial, Disnakertrans NTB bersama dengan DPRD Provinsi NTB saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Ketenagakerjaan, yang salah satu pasalnya mengatur perlindungan sosial bagi pekerja informal atau pekerja rentan.
“Untuk pekerja formal, aturannya sudah jelas, dan pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan. Namun, untuk pekerja informal, aturannya belum ada. Oleh karena itu, Raperda ini merupakan bukti kehadiran pemerintah dalam menciptakan keadilan melalui regulasi yang jelas dan sah,” ungkapnya.
Aryadi juga mengungkapkan bahwa tiga tahun lalu, Disnakertrans NTB telah menyurati Kementerian Keuangan RI untuk mengusulkan agar dana DBH CHT dapat dialokasikan bagi pekerja rentan yang belum terlindungi jaminan sosialnya. Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) sudah sejak 10 tahun lalu mengusulkan hal ini, dan pada tahun 2022 setelah Disnakertrans Provinsi NTB bersurat, usulan ini akhirnya disetujui oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini bahkan dijadikan percontohan dan sudah diujicobakan di 35 daerah.
“Usulan ini telah direspons Kementerian pada tahun 2022, dan pada tahun ini akan diakomodasi dalam perubahan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang akan mengatur dengan lebih jelas bahwa sebagian dari DBH CHT dapat dialokasikan untuk pembayaran perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja penerima upah,” tuturnya.
Aryadi juga menyinggung tentang perlindungan sosial bagi petugas penyelenggara Pemilu yang juga dikategorikan sebagai pekerja rentan. Dalam Tahun Pemilu ini, Presiden telah menginstruksikan agar jaminan sosial ketenagakerjaan diberikan kepada para penyelenggara Pemilu. KPU telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah terkait hal ini.
“Kita perlu memvalidasi data dengan benar agar para petugas penyelenggara Pemilu dapat menerima perlindungan yang sesuai dengan hak mereka. Pekerjaan mereka meski bersifat sementara tapi memiliki risiko tinggi sehingga perlu ada jaminan perlindungan yang tepat,” tegas Aryadi.
Selain memberikan perlindungan sosial bagi pekerja rentan, Aryadi juga menyebutkan bahwa pemerintah juga mengupayakan perlindungan sosial bagi pekerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar Negara) sudah mendapat perlindungan jaminan sosial dari sebelum berangkat. Sehingga jika terjadi sesuatu di kota/negara setempat bisa langsung diklaim ke perusahaan.
“Jika sebelumnya perlindungan hanya diberikan setelah pekerja tiba di lokasi tujuan, kini kita minta agar pembayaran dilakukan sebelum mereka berangkat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja benar-benar terlindungi, karena ada kekhawatiran jika sudah sampai, pembayaran tidak dilakukan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aryadi juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap tenaga kerja asing (TKA) di NTB. Menurutnya, proses masuknya TKA harus melalui prosedur yang ketat, di mana perusahaan yang mempekerjakan mereka harus memiliki izin dan mengajukan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) sesuai dengan spesifikasi jabatan yang dibutuhkan.
“Saya berharap ada koordinasi yang lebih baik dari kabupaten/kota terkait isu masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dengan alasan sebagai investor, seperti yang terjadi di Sekotong Lombok Barat,” ucapnya.
Bicara tentang PMI, Aryadi menjelaskan bahwa NTB sebagai lumbung PMI, tentu saja banyak permasalahan yang terjadi, terutama terkait kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang sering kali modusnya adalah penempatan tenaga kerja non-prosedural.
Untuk perlindungan tenaga kerja yang berada di luar negeri (PMI), Disnakertrans NTB terus melakukan pencegahan dari hulu untuk mengurangi kasus PMI non prosedural. Kolaborasi antara daerah dan pusat, serta antar-instansi dan masyarakat, sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah PMI.
“Pencegahan harus dimulai dari hulu, dan tidak bisa hanya dilakukan oleh Disnakertrans saja. Jika kita ingin meningkatkan remitansi, kita harus melindungi pekerja kita sejak dari hulu, melalui pelatihan dan edukasi,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, disebutkan bahwa tugas pemerintah daerah adalah menyiapkan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) dan wajib menyediakan anggaran sebesar 5% dari APBD. Namun, hingga saat ini, aturan ini belum bisa diimplementasikan dengan baik mengingat kondisi fiscal daerah masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, perlu ada inovasi dan memaksimalkan sumber daya yang ada untuk perlindungan pekerja kita.
Sementara itu, Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan NTB, Boby Foriawan, dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah upaya monitoring terhadap penggunaan dana DBH CHT dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat, khususnya pekerja rentan.
Berdasarkan data per Agustus 2024, jumlah pekerja informal di NTB mencapai 1.097.813 orang, dengan cakupan perlindungan sebesar 17,25% (189.395 orang), sementara 82,75% (908.418 orang) lainnya belum terlindungi.
Dari jumlah tersebut, petani tembakau di NTB yang mendapatkan perlindungan dari DBH CHT tahun 2024 sebanyak 34.295 orang. Total yang sudah diklaim sebanyak 28 kasus dengan nilai nominal klaim Rp 1.176.000.000.
Pada sesi tanya jawab, Bappeda Sumbawa menanyakan terkait jika terjadi kasus, bisa berikan kami gambaran jika terjadi kecelakaan antara Jasa Raharja dan Jamsostek. Seperti apa yang membedakan dua jenis perlindungan ini.
Oktiana Triperani Sukmana, Kabid Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, menjelaskan mengenai perbedaan antara asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan Jasa Raharja.
“Jasa Raharja dapat diklaim ketika terjadi kecelakaan lalu lintas dimana saja yang melibatkan dua atau lebih kendaraan. Sementara BPJS Ketenagakerjaan juga mengklaim kecelakaan tunggal, seperti nelayan yang tenggelam, asalkan terjadi pada saat akan berangkat atau pulang dari tempat kerja,” pungkas Pera.