Disnakertrans : Petugas Pengantar Kerja harus berperan bagai “Job fair hidup”.
Trend sektor industri yang terus berkembang tidak hanya menuntut tenaga kerja untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan industri, tetapi juga menuntut pemerintah khususnya di bidang SDM Penempatan Tenaga Kerja untuk mengupgrade diri dan responsif sesuai perkembangan industri.
Tugas dan kewajiban SDM Penempatan Tenaga Kerja sebagai pelayanan Antar Kerja sangatlah penting. Karena itu Disnakertrans Provinsi NTB mengadakan kegiatan Bimtek SDM Penempatan Tenaga Kerja di Lombok Plaza, Rabu (27/02/2022).
Bimtek yang diikuti oleh 30 peserta yang terdiri dari pejabat fungsional pengantar kerja, pengantar kerja kabupaten/kota, Bursa Kerja Khusus (BKK) dan lembaga swasta bertujuan untuk meningkatkan kompetensi para pengantar kerja dan pejabat fungsional pengantar kerja.
Dalam sambutannya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menyampaikan bahwa sektor ketenagakerjaan adalah sektor paling vital dan yang menjadi jantungnya adalah pejabat dan petugas pengantar kerja. Bimtek ini bisa menjadi wadah berbagi informasi dan pengalaman para pengantar kerja sehingga bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terkait informasi pasar kerja dalam dan luar negeri.
Terkait informasi pasar kerja dalam negeri Gede menyampaikan peluang kerja dalam negeri sangat banyak. Tahun 2021 Provinsi NTB telah mengirimkan 1.000 tenaga kerja AKAD untuk ladang kelapa sawit di Kalimantan. Ini harus diedukasikan dan disosialisasikan lebih gencar lagi.
Saat ini pemerintahan NTB sedang membangun Mall Pelayanan Publik. Di sana akan diisi juga oleh pengantar kerja. Jadi, mereka bisa memberikan edukasi terkait informasi pasar kerja.
“Dengan informasi itu, lembaga vokasi bisa melihat tren pasar kerja sehingga bisa menyesuaikan kurikulum sesuai kebutuhan dunia industri,” ucap Gede.
Selama ini kegiatan job fair dengan format lama menurutnya kurang memberikan hasil maksimal, karena tidak terjadi link and match antara kebutuhan dunia industri dengan kompetensi yang dimiliki pencari kerja (pencaker).
“Begitu diumumkan yang diterima bekerja minimal 1 orang per perusahaan. Sedangkan, pertumbuhan angkatan kerja tiap tahunnya sekitar 40.000-60.000 orang,” ungkap mantan Kadiskominfotik Provinsi NTB tersebut.
Disisi lain, terjadi krisis pejabat pengantar kerja. Saat ini di NTB jumlah Pengantar Kerja bisa dihitung jari. Padahal pencaker butuh bimbingan pengantar kerja. Oleh karena itu, Disnakertrans NTB mengajukan penambahan pejabat Pengantar Kerja minimal 20 orang yang diharapkan akan bisa menjadi garda terdepan dalam mengedukasi, mendesiminasi dan mendampingi calon pekerja atau angkatan kerja kita, bagaimana menyiapkan diri, menyiapkan soft skill dan hard skill sehingga bisa mengakses dan mengisi peluang kerja yang tersedia.
“Jadi peran pejabat pengantar kerja ini bagaikan job fair hidup yang menciptakan kondisi awal terwujudnya job matching atau link and match antara ketersediaan angkatan kerja yang kompeten dengan peluang kerja yang ada di dunia industri,” terang Gede.
Hal itu menurutnya akan dapat mengurangi kesalahan informasi terkait pasar kerja terutama pasar kerja luar negeri.
“Terlebih jika ada pejabat pengantar kerja atau petugas pendamping di desa yang bisa berperan sebagai petugas ketenagakerjaan untuk mengedukasi masyarakat tentang dunia kerja , maka akan dapat mengurangi jumlah PMI non prosedural,” harap Gede.
Terkait peluang kerja luar negeri, pengantar kerja dapat memberikan edukasi ke masyarakat. Sebagai contoh pemberangkatan CPMI ke Malaysia harus melalui One Channel System (OCS). P3MI harus mengisi data perusahaan dan CPMI melalui aplikasi sipermit. Dari aplikasi tersebut akan tersedia informasi lengkap seperti kontrak kerja dan gaji yang diterima.
“Penempatan Malaysia untuk bekerja di ladang kelapa sawit saat ini sudah zero cost (tidak dipungut biaya), karena seluruh biaya dibebankan kepada user atau perusahaan penempatan,” ujarnya.
MoU penempatan dan perlindungan PMI harus disosialisasikan dengan baik oleh pengantar kerja agar informasi sesat yang diberikan dari calo/tekong bahwa bekerja di Malaysia harus membayar sejumlah uang. Selama ini ada Pekerja Lapangan (PL) yang merekrut CPMI, namun dengan adanya MoU tersebut kedudukan PL harus menjadi pegawai dari P3MI. Jadi harus digaji oleh P3MI bukan memungut biaya dari CPMI.
Menurutnya, penerapan OCS merupakan implementasi konkrit dari program Zero Unprosedural PMI yang telah dicanangkan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB. Karena, dengan penerapan satu sistem OCS ini, maka tidak ada celah lagi proses penempatan secara non prosedural.