Disnakertrans : Proses rekrut CPMI menjadi salah satu titik rawan PMI illegal & TPPO
Untuk meningkatkan pelindungan hak-hak pekerja bagi warga Indonesia yang mencari pekerjaan di sektor kelapa sawit di Malaysia, Kepala Dinas Tenaga dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos., MH., menjadi keynote speaker pada kegiatan Pelatihan Perkenalkan Perekrutan Etis untuk P3MI Sektor Kelapa Sawit Koridor Indonesia-Malaysia yang diselenggarakan oleh International Organization for Migration (IOM) di Hotel Lombok Raya, pada Selasa (27/02/2024).
Kadisnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menjelaskan bahwa bekerja ke luar negeri merupakan pilihan dan hak setiap warga negara. Pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk bekerja. Kewajiban pemerintah bersama stakeholder adalah menfasilitasi, menyiapkan mereka agar memenuhi persyaratan dan protokol antar negara serta memberikan perlindungan.
Ia menyebut proses rekrutmen menjadi salah satu titik rawan. Jika dilakukan secara ilegal, apalagi oleh oknum yang tidak kompeten, maka dari sinilah awal malapetaka bagi CPMI kita. Karenanya proses rekrut ini perlu mendapatkan perhatian serius. Bahkan dalam pengamatan mantan irbansus pada Inspektorat ini, menjadi salah satu titik rawan dalam proses penempatan PMI oleh P3MI. “PMI non prosedural, bahkan kasus kejahatan TPPO seringkali berawal dari proses rekrutmen oleh pihak atau oknum yang tidak kompeten,” ungkap Gde.
Hal itu terjadi, menurutnya karena belum semua perusahaan atau P3MI mematuhi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan PMI.
Aryadi menjelaskan bahwa UU Nomor 18 tersebut mengamatkan bahwa rekrutmen etis oleh P3MI dilakukan oleh petugas antar kerja resmi dari perusahaan P3MI yang memiliki ijin rekrut dan job order bersama pejabat fungsional pengantar kerja dari disnaker dan juga melibatkan desa dan dusun. Petugas antar kerja dari P3MI merupakan pegawai perusahaan, yang wajib memenuhi persyaratan menjadi petugas yang kompeten dan bertanggung jawab. Tetapi faktanya masih ada perusahaan yang melakukan proses rekrut dengan menggunakan jasa calo, yang akhirnya memunculkan beragam kasus yang menimpa para CPMI kita.
Berbeda dengan mekanisme rekrutmen sebelumnya, berdasarkan UU No. 39 Tahun 2004, dimana penyampaian informasi dan rekrutmen CPMI dilakukan oleh Petugas Lapangan ( PL) yanģ bukan merupakan petugas resmi/ pegawai perusahaan, sehingga tidak ada tanggungjawab atau lebih tepat disebut Calo. “Ulah para mafia dan calo inilah yang menimbulkan banyak kasus, dan ini harus dihentikan “, ajaknya.
Aryadi kembali mengingatkan dan mengajak kepada para direktur P3MI agar proses rekrutmen tidak lagi menggunakan calo. Kerja sama yang baik dan pembinaan intens yang dilakukan pihaknya 2 tahun terakhir bersama asosiasi P3MI dan stakeholder terkait, kini sudah mulai menunjukkan perbaikan.
Edukasi untuk mengeliminir gerak para calo atau oknum PL yang sering menjual informasi untuk menipu CPMI kita, semakin gencar dilakukan. Pencegahan juga dilakukan dengan cara menertibkan perusahaan penempatan PMI (P3MI). Diantaranya P3MI yang ingin merekrut PMI di NTB wajib membuka kantor cabang di daerah agar aktivitasnya bisa dikontrol, bahkan pelatihan harus CPMI harus dilakukan disini.
Selain itu, P3MI juga wajib melaporkan progres perusahaan secara rutin dan berkali minimal setiap 3 bulan sekali.
Dari pembinaan intens yang dilakukan pihaknya, jika masih ada Perusahaan atau oknum yang nakal, maka penegakan hukum yang tegas mulai diterapkan. Penegakan hukum juga bertujuan untuk membangun kesadaran bersama agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban kejahatan, sekaligus untuk memberikan effect jera.
Ia mengungkapkan hingga hari ini Satgas PPMI yang dipimpinnya, bekerja sama dengan dan Satgas TPPO Polda NTB sedang menangani 65 tersangka dengan jumlah korban 148 orang dan 40%nya merupakan perempuan.
Aryadi juga menceritakan beberapa modus kejahatan yang dilakukan pelaku dalam menjerat korbannya, baik dilakukan oleh oknum perusahaan maupun perorangan atau calo dan jaringannya.
Ia juga menyebut bahwa jumlah P3MI di wilayah NTB terus tumbuh dan berkembang.
Saat ini jumlahnya telah mencapai 182 perusahaan, terdiri 14 P3MI berkantor pusat di NTB dan sisanya adalah kantor cabang.
Karenanya ia mengapresiasi Program pelatihan perekrutan etis kepada P3MI yang diinisiasi IOM ini, diharapkannya akan mampu mengurangi bahkan menihilkan kasus -kasus PMI Non Prosedural.
Kepala BP3MI Prov. NTB, Noerman Adhiguna, SE, MBA., berterima kasih pada IOM yang sudah memperhatikan masyarakat NTB dalam memberikan edukasi pada P3MI untuk merekrut secara etis dan sesuai IRIS.
Sesuai data BP3MI, Malaysia masih menjadi negara tujuan favorit Pekerja Migran Indonesia (PMI) setelah Taiwan dan Hongkong. Sektor kelapa sawit menjadi salah satu sektor yang paling diminati oleh PMI. Noerman mengatakan sepanjang tahun 2023 ada 27 ribu yang berangkat ke luar negeri. Dimana yang mendominasi adalah Kabupaten Lombok Timur.
Noerman mengungkapkan bahwa berdasarkan Peraturan BP3MI tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI, ada 10 jenis jabatan yang terkategorikan sebagai jabatan informal dan jabatan rentan yang bebas biaya penempatan. Kesepuluh jabatan tersebut antara lain Pengurus rumah tangga, Pengasuh bayi, Pengasuh lanjut usia (lansia), Juru Masak, Supir Keluarga, Perawat Taman, Pengasuh Anak, Petugas Kebersihan, Petugas ladang/perkebunan, Awak Kapal Perikanan Migran.
“Sebagai pelayanan pelindungan PMI, kita wajib menyebarkan informasi jika NTB sudah zero cost dalam hal pemberangkatan CPMI untuk menutup kesempatan calo/tekong yang akan memungut biaya untuk CPMI yang ingin berangkat secara non prosedural,” tegasnya.
Terakhir Eny Rofiatul, National Project Officer IOM, mengungkapkan bahwa IOM Indonesia bertanggung jawab dalam meningkatkan kapasitas dan pengetahuan perusahaan perekrutan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang menempatkan PMI di sektor perkebunan kelapa sawit koridor Indonesia-Malaysia.
Eny menjelaskan bahwa sesuai standar perekrutan yang etis, IRIS (International Recruitment integrity System) dan standar ketenagakerjaan nasional dan internasional. Lebih lanjut, kegiatan pelatihan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman P3MI tentang cara-cara untuk mengurangi risiko eksploitasi tenaga kerja terhadap pekerja migran, termasuk risiko tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan kerja paksa dalam rantai manajemen bisnis mereka.
“Oleh karena itu, P3MI perlu memiliki keterampilan dan perekrutan etis, tidak hanya pada materi pelatihan tetapi juga dalam kolaborasi dengan Pemerintah dan stakeholder terkait dalam pertukaran informasi untuk memastikan perlindungan PMI,” pungkas Eny.