Kekerasan seksual bukan soal tindakan fisik saja, tapi juga pelecehan verbal & psikologis

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos., M.H., menjadi narasumber pada Pembekalan Peserta Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang diselenggarakan oleh Disnakertrans Provinsi NTB dan Disnakertrans KSB di Batu Hijau, Senin (13/01/2025).
Kegiatan yang diikuti oleh 25 peserta dari manajemen PT Amman Mineral Industri (PT. AMIN) dan PT. Mac Mahon ini merupakan bagian dari rangkaian acara dalam menyemarakkan Bulan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan seksual.
Aryadi mengungkapkan bahwa kekerasan seksual merupakan isu sensitif yang sedang menjadi perhatian nasional maupun lokal. Berbagai kasus telah mencuat, baik di lingkungan pendidikan maupun tempat kerja. Karena itu, PT.AMNT dan seluruh mitra bisnis perlu lebih awal melakukan program preventif atau mitigasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan seksual.
“Di NTB sendiri, kita tidak bisa menutup mata terhadap laporan yang masuk, meskipun sifatnya masih lokal dan belum menjadi isu nasional. Namun, kita harus waspada. Kekerasan seksual bukan hanya tentang tindakan fisik, tetapi juga berkaitan dengan pelecehan verbal dan psikologis,” ujarnya.
Aryadi menjelaskan bahwa hasrat seksual adalah hal yang naluriah. Namun manusia sebagai makhluk berpikir harus mampu mengendalikan dorongan tersebut. Dalam konteks tempat kerja, keanekaragaman budaya dan latar belakang karyawan sering kali menjadi tantangan tersendiri.
“Oleh karena itu, pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini sangat penting. Satgas tidak boleh hanya ada secara formal, tetapi harus aktif bekerja, memiliki strategi, dan memahami kompleksitas persoalan di lapangan,” imbaunya.
Khusus di sektor tambang seperti di Batu Hijau ini, terdapat keanekaragaman budaya yang sangat tinggi. Ada pekerja dari berbagai negara, seperti Tiongkok, Bangladesh, India, Inggris, dan tentunya pekerja lokal. Interaksi lintas budaya ini sering kali menjadi pemicu gesekan yang berujung pada konflik, termasuk kekerasan seksual.
“Tugas Satgas adalah menjaga harmoni di tengah perbedaan tersebut. Satgas harus menjadi garda terdepan dalam membangun budaya perusahaan yang menghormati keberagaman, kesetaraan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” tegas Aryadi.
Aryadi memaparkan, ada 3 fungsi peran satgas yaitu: pencegahan, sosialisasi/edukasi dan penanganan kasus. Untuk memastikan efektivitas Satgas, langkah awal yang harus dilakukan adalah identifikasi yang diawali dengan memetakan masalah, memahami kecenderungan kasus, dan menetapkan program-program yang sesuai. Tidak cukup hanya bicara teori, butuh pendekatan berbasis data dan fakta di lapangan.
“Selain itu, perlu menyamakan persepsi tentang apa yang dimaksud dengan pelecehan dan kekerasan seksual. Tanpa pemahaman yang sama, kita akan kesulitan dalam menangani kasus. Tindakan yang dianggap biasa di suatu daerah, bisa saja dianggap pelecehan di daerah lain. Untuk itu, perlu ada rumusan batasan dan definisi yang disepakati bersama dalam hal pelecehan seksual tersebut,” ujarnya.
Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi menjadi kunci. Semua pihak harus dilibatkan, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH), untuk membuat rumusan tentang batasan-batasan pelecehan seksual. Rumusan ini harus disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan budaya tempat kerja.
Salah satu kebijakan terbaru yang menjadi acuan dalam kegiatan ini adalah Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Kepmenaker ini memberikan panduan yang jelas dan komprehensif bagi perusahaan serta pekerja dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kerja. Di dalamnya juga dijelaskan prosedur pelaporan, penanganan, serta langkah-langkah preventif yang dapat diambil untuk menciptakan tempat kerja yang lebih aman dan bermartabat.
Aryadi mengungkapkan banyak korban kekerasan seksual enggan melapor karena kurangnya pemahaman atau rasa takut. Karena itu perusahaan perlu menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, serta berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penyelesaian kasus tertentu, dengan tetap mengedepankan pendekatan mediasi untuk resolusi internal.
“Tidak semua kasus harus diselesaikan melalui jalur hukum. Hukum memang penting untuk memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Namun, jika memungkinkan, pendekatan musyawarah dan penyelesaian internal harus menjadi prioritas. Ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih harmonis tanpa menimbulkan permusuhan,” papar Aryadi.
Terakhir, Aryadi menekankan pentingnya pencegahan dengan mengajak perusahaan untuk membangun lingkungan kerja yang aman dan nyaman, serta memperkuat regulasi dan pelaksanaan undang-undang terkait kekerasan seksual di tempat kerja.
“Dengan adanya Satgas ini, kami berharap tidak hanya meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual di tempat kerja, tetapi juga memberikan langkah konkret dalam penanganannya. Pekerja berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman, bebas dari kekerasan, dan diskriminasi,” tutupnya.