Kurangi Resiko Penyakit akibat Kerja, Disnakertrans NTB Ajak Perusahaan Utamakan Pencegahan

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, angkatan kerja Provinsi NTB tahun 2022 mengalami peningkatan sebanyak 33,86 ribu orang dibanding Februari 2021. Peningkatan angkatan kerja ini harus diiringi dengan peningkatan SDM dan perlindungan kepada tenaga kerja. Oleh karena itu, Disnakertrans Provinsi NTB melalui Balai Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pulau Lombok mengadakan sosialisasi Pelayanan Pencegahan Pengendalian Penyakit di Tempat Kerja di hotel Lombok Plaza, Rabu (26/10/2022).
Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perusahaan dan pekerja mengenai K3 serta mencegah penyakit akibat kerja ini diikuti oleh 40 orang peserta yang merupakan pekerja dan perwakilan perusahaan baik perusahaan besar dan perusahaan kecil, UMKM, kelompok tani KLU, serta Asosiasi Pengusaha Tembakau Indonesia (APTI).
Kadisnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H saat membuka sekaligus menjadi narasumber pada kegiatan itu mengajak seluruh perusahaan dan industri mengutamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta memberikan jaminan perlindungan bagi semua pekerjanya.
Aryadi mengungkapkan bahwa hingga saat masih sering terjadi resiko dan berbagai masalah di tempat kerja yang sebagian besarnya terjadi karena kurangnya pemahaman mendalam tentang hak dan kewajiban masing-masing, terutama mengenai K3.
Penyebab keselamatan dan kecelakaan kerja yang sering ditemui adalah perilaku yang tidak aman sebesar 88 % dan kondisi lingkungan yang tidak aman sebesar 10%, atau kedual hal tersebut terjadi secara bersamaan.
“Banyak pekerja yang sering mengabaikan prosedur keselamatan. Sering kita melihat tukang-tukang yang mengerjakan proyek bangunan berlantai tidak memakai alat pelindung diri atau pengaman yang lengkap. Syukur kalau tidak celaka. Kalau sampai terjadi, pasti akan heboh dan yang akan rugi bukan hanya pekerja yang celaka saja, tapi juga perusahaannya, karena selain kehilangan pekerja, perusahaan juga harus membayar biaya pengobatan dan santunan kematian jika pekerja belum diasuransikan,” tutur Aryadi.
Karena itu pemerintah membuat pedoman berupa UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang pada prinsipnya mewajibkan agar semua perusahaan menerapkan K3 dan juga memberikan perlindungan bagi pekerjanya yang merupakan aset berharga untuk produktivitas dan kinerja perusahaan.
Lebih lanjut Mantan Kadiskominfotik Provinsi NTB tersebut menjelaskan bahwa di tempat kerja, ada dua jenis resiko kerja. Pertama, resiko kerja yang bisa dilihat secara langsung seperti kecelakaan (keselamatan kerja). Kedua, resiko yang tidak bisa dilihat langsung yang bersifat jangka panjang seperti penyakit akibat kerja (kesehatan kerja).
Untuk menghindari resiko keselamatan dan kesehatan kerja tersebut, Aryadi mengajak perusahaan dan para pekerja mengutamakan kegiatan pencegahan atau preventif sebelum terjadi musibah.
“Terapkan prinsip lebih baik mencegah dari pada mengobati. Sebab kalau sudah terjadi kecelakaan, meski dapat diatasi, tetap saja menimbulkan kerugian, baik kepada perusahaan dan korban bagi pekerjanya maupun masyarakat disekitarnya, bahkan bisa mengganggu perekonomian daerah,” ujar Aryadi.
Menurutnya, setiap aktivitas produksi dan jasa di tempat kerja bahkan di kantor sekalipun pasti ada resiko bahayanya. Namun resiko bisa dihindari atau diminimalisir jika semua pihak mengedepan sikap hati hati dan mau mengikuti standar operasional prosedur K3 yang ditetapkan.
Adapun sumber bahaya di tempat kerja dapat berupa: mesin, listrik, bahan kerja, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dan juga proses produksi.
“Pekerja kantoran pun tak bisa lepas dari K3. Penataan ruang kerja bagi pegawai menentukan kesehatan dan keselamatan. Bayangkan kalau di tempat kerja pencahayaannya kurang, maka lambat laun bisa menimbulkan penyakit mata. Ventilasi yang tidak baik bisa menimbulkan penyakit pernafasan. Selain itu beban kerja, lingkungan kerja, dan kapasitas kerja juga akan mempengaruhi kesehatan dan produktivitas pekerja,” jelas Aryadi.
Dalam Permenaker No. 3 Tahun 1982 tentang pelayanan kesehatan kerja, ditegaskan bahwa perusahaan atau pemberi kerja wajib menyediakan pelayanan kesehatan kerja di lingkungan kerjanya. Bagaimana perusahaan membangun suasana kerja yang sehat. Misalnya dengan menyediakan akses air bersih, ventilasi, WC, musholla, fasilitas olah raga dan P3K termasuk tempat menyusui, dan jalur evakuasi.
“Memang tidak mudah diterapkan secara langsung apalagi jika perusahaannya baru, tapi paling tidak K3 harus dipahami dengan baik sehingga bisa diterapkan secara bertahap,” ucap Aryadi.
Terlebih saat ini NTB telah menjadi destinasi wisata kelas dunia. Turis asing ketika masuk ke hotel yang pertama kali dicek adalah K3nya: kebersihan dan rambu-rambu evaluasi daruratnya. Karena itu, Ia menekankan kepada seluruh industri di daerah wisata untuk wajib menerapkan K3.
Mantan Irbansus pada Inspektorat NTB tersebut juga menghimbau agar perusahaan memberikan akses olahraga untuk meningkatkan fisik pekerja, ibadah untuk penguatan mental dan rohani, dan menyediakan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja yang sakit.
Terakhir Aryadi berharap agar jika ada permasalahan di perusahaan, lebih baik melalui komunikasi atau musyawarah. Karena jika menyelesaikan perselisihan tanpa mengutamakan musyawarah, meskipun bisa memperoleh kemenangan dalam sidang, tapi sidang akan menguras energi, waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga proses produksi menjadi terbaikan, tegasnya.
Ia menyebut pihaknya kini telah menyediakan akses layanan Klinik Pelayanan Konsultasi ketenagakerjaan Mobile. Fasilitas tersebut, dimintanya untuk dimanfaatkan dengan baik, sebagai media kolaborasi antara perusahaan, pengawas dan para pekerja untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, usaha yang produktif dan pekerja yang sehat serta sejahtera.
“K3 sangat terkait dengan daya saing dalam era globalisasi. Karena itu merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak dalam industri untuk menerapkan K3. Dengan menerapkan K3, maka kita telah mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” tutup Aryadi.