Masih ada tumpang tindih lahan transmigrasi dengan Kawasan hutan. Kadis Nakertrans : “Harus ada solusi”.
Ditjen. Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK RI menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Penataan Kawasan Hutan Provinsi NTB Tahun 2023 di Hotel Merumatta, Selasa (7/11/2023).
Rakor yang dilaksanakan selama 2 hari dari tanggal 7-8 November 2023 itu menghadirkan sejumlah Narasumber yang kompeten dibidangnya. Salah satu diantaranya adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinssi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos.MH yang membawakan materi terkait pembangunan Ketransmigrasian dan permasalahan lahan transmigrasi di kawasan hutan.
Dalam prolog pemaparannya, Aryadi, menjelaskan bahwa pembangunan transmigrasi seringkali bersinggungan dengan kawasan hutan. Padahal tujuan transmigrasi ini sangat mulia. Namun, dalam proses menciptakan kawasan baru seringkali ditemukan sejumlah kasus yang terkait dengan tumpang tindih lahan dan problem lainnya.
Ia melihat munculnya berbagai kasus tersebut, karena saat proses perencanaan belum didukung data dan informasi lapangan yang akurat dan benar. Juga kurang teliti dalam proses identifikasi serta lemahnya koordinasi.
Padahal sudah jelas diatur dalam regulasi, khususnya mengacu pada UU No. 29 Tahun 2009 dan PP No. 3 Tahun 2014 bahwa Program transmigrasi harus dibangun pada tanah yang clean and clear, serta layak huni, layak usaha, dan layak berkembang.
Lahan yang bisa digunakan untuk transmigrasi, pada prinsipnya meliputi 3 sumber. Pertama adalah adalah tanah negara. Kedua, tanah milik perorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat setelah melalui proses pembebaskan sesuai peraturan perundang undangan. Ketiga, Tanah adat yang juga berdasarkan hasil musyawarah dan kesepakatan dari para pihak.
Berikut beberapa permasalahan yang terjadi pada lahan transmigrasi, diantaranya: tunggakan SHM Transmigran, tunggakan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL), lokasi permukiman transmigrasi berada di Kawasan hutan, dan tuntutan transmigran atas kekurangan lahan serta “reclaiming” tanah oleh penduduk sekitar yang perlu diselesaikan.
Sejumlah bidang lahan usaha warga transmigrasi yang sampai saat ini belum clear and clean, yaitu Sori Panihi di Bima, Puncak Jeringo di Lotim, dan Tongo di Kab. Sumbawa Barat,” terang Aryadi.
Permasalahan di kawasan-kawasan tersebut, antara lain belum semua bidang tanah warga trans mendapatkan alas hak berupa SHM. Juga ada sejumlah bidang lahan yang masih bersentuhan dengan kawasan hutan dan tumpang tindih lahan lainnya.
Selain ada tumpang tindih lahan dan lahan yang masuk kawasan hutan, ada juga permasalahan yang bersumber dari warga Transmigrasi sehingga statusnya sebagai transmigran dibatalkan, seperti : memindah tangankan lahannya, meninggalkan lahannya, tidak mengelola aset produksi bantuan pemerintah, melalaikan kewajiban sebagai transmigran, dan menelantarkan tempat tinggal / fasilitas yang telah diberikan.
Beberapa kondisi yang menjadi kendala dalam proses penerbitan SHM dan legalisasi areal transmigrasi yaitu:
1. Adanya masyarakat non transmigran yang sudah lama menempati lokasi/lahan Transmigrasi.
2. Adanya lahan yang ditinggalkan transmigran dan tanah restan pada lokasi yang sudah HPL. Transmigran yang sudah meninggalkan lokasi transmigrasi pada UPT serah dan lahannya dijual kepada masyarakat. Namun diabaikan karena tidak ada airnya dsb sehingga ada beberapa kawasan transmigrasi yang menjadi kawasan mati, tidak berkembang.
3. Adanya lokasi transmigrasi yang sudah terbit SHM maupun belum terbit SHM namun masuk ke dalam kawasan hutan. “Contohnya di soru pinihi, dari 283 itu 83 lahan masih masuk kawasan hutan,” tutur Aryadi.
Adapun upaya penyelesaian permasalahan lahan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, penyelesaiannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di bidang kehutanan, yaitu: mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan atau melakukan resettlement.
Terhadap kasus tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan menurut Aryadi pemerintah harus hadir untuk mencari solusi yang tepat. “Warga transmigran tidak boleh dirugikan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala BPKHTL Wilayah VIII Heru Sri Widodo menjelaskan bahwa alur penyelesaian permasalahan kawasan Transmigrasi prosesnya yaitu dimulai dari sosialisasi, pemohon menyampaikan permohonannya melalui Pak Kades, lalu ke Camat, dan kemudian ke Bupati.
“Nanti dari Bupati baru ke tim invent.
Tim akan membuat Tim pelaksana di daerah dan pusat. Setelah ada usulan dari masyarakat dan Tim invent membuat rekomendasi kemudian baru di bahas oleh Tim pelaksana di pusat,” papar Heru.
Tim invent akan melakukan ekspos tentang permasalahan kepada Tim pelaksana di Jakarta. Jika bentuknya perubahan batas maka solusinya perubahan batas dan akan terbit SK birutora. Setelah itu SHMnya baru bisa terbit.
Heru mengungkapkan bahwa, sejak tahun 2018 pihaknya sudah melaksanakan invent PPTKH TOTA di Kabupaten Dompu, Kota Bima, Kabupaten Lobar dan Kabupaten Sumbawa. Dengan total rekomendasinya yaitu perubahan sosial 4000 hektar dan perubahan tapal batas 182,86 hektar. Tetapi yang keluar SKnya perubahan sosial sejumlah 4179 hektar dan tapal batas 113,98 hektar.
“Sementara itu untuk tahun 2024 rencana akan dilakukan invent di Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Sumbawa Barat,” pungkasnya.
Pada sesi diskusi, Khairir dari Kehutanan mengungkapkan bahwa di Kec. Sekongkang, Sumbawa Barat, area pencanangan Transmigrasi sejumlah 6.000 hektar, namun yang baru terpakai hanya 4.000 hektar. Ia juga menyayangkan lahan transmigrasi yang telah mendapat sertifikat hak Milik (SHM) ternyata masuk kawasan hutan.
Menjawab hal tersebut, Kadisnakertrans NTB menyampaikan penerbitan sertifikat lahan transmigrasi yang masuk kawasan hutan, karena statusnya pada saat itu sudah clean and clear. Hal itu membuktikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat tidak didukung oleh data, informasi dan fakta yang jelas dan benar. Jadi tidak jelas zona yang menjadi kawasan hutan.
“Yang memiliki wewenang penerbitan SHM adalah di BPN bukan Disnakertrans. BPN akan mengeluarkan SHM ketika dinyatakan clean and clear. Sebagian besar warisan kasus lahan transmigrasi akibat kurangnya data yang jelas terkait zona kawasan hutan,” terang Aryadi.
Aryadi juga menyinggung ulah oknum yang tidak bertanggungjawab, yang memberikan informasi bohong tentang adanya program pembukaan pemukiman/penempatan transmigrasi baru di Pulau Lombok dan Sumbawa, dengan meminta imbalan uang pendaftaran kepada calon warga yang berminat ikut transmigrasi.
Ia menegaskan hal tersebut merupakan modus penipuan. “Belum ada rencana program transmigrasi lokal di Pulau Lombok dan Sumbawa,” tegasnya.
Karena itu, pihaknya sudah membuat edaran ke kabupaten/kota yang berisi tentang tidak adanya program transmigrasi di Pulau Lombok dan Sumbawa. “Jika ada oknum yang meminta uang untuk dijadikan transmigran di Pulau Lombok atau Pulau Sumbawa, maka jangan dipercaya. Itu bohong,” tegas Aryadi.