Pejabat Pengantar Kerja & PPNS harus Cegah dan Proses Hukum para Calo PMI Ilegal.

Kadis : ” 7 kasus diproses hukum, 3 orang Pelaku divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp.1 Milyar”.
Tren sektor industri yang terus berkembang tidak hanya menuntut tenaga kerja untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan industri, tetapi juga menuntut pemerintah khususnya di bidang SDM Penempatan Tenaga Kerja untuk mengupgrade diri dan responsif sesuai perkembangan industri. Tugas dan kewajiban SDM Penempatan Tenaga Kerja sebagai pelayanan Antar Kerja sangatlah penting. Karena itu, Ditjen. Bina Penta dan Perluasan Tenaga Kerja Kemnaker RI melalui Disnakertrans Provinsi NTB mengadakan Kegiatan Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia Penempatan Tenaga Kerja di Lombok Plaza, Rabu (16/11/2022).
Kegiatan Evaluasi yang diikuti oleh 30 peserta yang terdiri dari pejabat fungsional pengantar kerja, pengantar kerja kabupaten/kota, Bursa Kerja Khusus (BKK) dan lembaga swasta bertujuan untuk meningkatkan kompetensi para pengantar kerja dan pejabat fungsional pengantar kerja.
Dalam sambutannya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menyampaikan bahwa sektor ketenagakerjaan adalah sektor paling vital dan yang menjadi jantungnya adalah pejabat dan petugas pengantar kerja.
“Petugas pengantar kerja ini adalah job fair hidup. Hidup artinya harus bergerak. Karena itu pengantar kerja harus bergerak melaksanakan fungsinya, seperti melakukan sosialisasi, konsultasi dan edukasi kepada masyarakat terkait informasi pasar kerja dalam dan luar negeri,” ujar Aryadi.
Kegiatan evaluasi ini merupakan bagian dari instrospeksi diri, baik untuk mengukur diri dalam melaksanakan tugas sebagai ASN maupun mengukur diri dalam pelaksanaan tugas kita sebagai warga bangsa. Jika sudah evaluasi diri, maka harus dicari tahu apakah ada inovasi yang bisa dilakukan untuk percepatan kemajuan kinerja.
“Apapun jabatannya, pekerjaan itu akan dikatakan hidup jika ada kemajuan pada progresnya. Karena itu perlu adanya evaluasi kinerja,” ucap Aryadi.
Hasil evaluasi pembangunan Ketenagakerjaan, Tingkat pengangguran di NTB mengalami penurunan pada Agustus 2022 sebesar 2,89 persen, turun 0,12 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2021. Secara nasional, persentase angka pengangguran provinsi ini bahkan urutan keempat paling kecil di Indonesia. Urutan pertama terkecil adalah Sulawesi Barat, Gorontalo, Papua, lalu NTB.
Penduduk yang bekerja sebanyak 2,72 juta orang, meningkat sebanyak 60,95 ribu orang dari Agustus 2021. Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase penduduk bekerja terbesar adalah Sektor Pertanian (1,96 persen poin), Perdagangan Besar dan Eceran (0,81 persen poin), dan Jasa Lainnya (0,40 persen poin).
“Walaupun terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja, namun jumlah pengangguran menurun sebanyak 1,66 ribu orang. Artinya ada progres yang bagus di serapan tenaga kerja,” ujar Mantan Kadiskominfotik NTB tersebut.
Meski begitu, kualitas tenaga kerja perlu perhatian khusus karena kualitas tenaga kerja akan mempengaruhi produktivitas. Kalau ingin mendorong produktivitas, maka tenaga kerja harus dibekali dengan skill. Skill yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan sektor yang berkembang.
“Kebutuhan dunia industri harus ditanya, kompetensi apa yang harus dimiliki, tren di dalam negeri apa. Dari situ kita akan bisa merancang sistem untuk mempersiapkan tenaga kerja yang sinkron dengan kebutuhan dunia industri,” papar Aryadi.
Karena itu, menurut Aryadi sudah saatnya pengantar kerja mengubah pola kerjanya. Jangan hanya menyediakan informasi peluang kerja di satu waktu dan satu tempat seperti job fair pola lama. Banyak perusahaan hadir, ribuan juga pencari kerja (pencaker) datang, tetapi yang diterima hanya sedikit karena tidak match antara kompetensi pencaker dan skill yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dengan adanya transformasi digital di setiap lini kehidupan, otomatis akan ada job yang digantikan teknologi.
“Disinilah peran pengantar kerja, memetakan tren industri ke depan seperti apa. Sehingga angkatan kerja dihubungkan dengan lembaga pelatihan atau pendidikan vokasi yang ada. Nantinya lembaga vokasi merubah kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan dunia industri,” jelas Aryadi.
Pengantar Kerja diharapkan bisa menjadi garda terdepan dalam mengedukasi, mendesiminasi dan mendampingi calon pekerja atau angkatan kerja kita, bagaimana menyiapkan diri, menyiapkan soft skill dan hard skill sehingga bisa mengakses dan mengisi peluang kerja yang tersedia. Saat ini ada dua kesempatan kerja yang penting untuk disiapkan, yaitu kesempatan kerja dalam negeri dan kesempatan kerja luar negeri.
Untuk kesempatan kerja luar negeri, masih sedikit pengantar kerja dan pengawas yang memberikan perhatian lebih terhadap kesempatan kerja luar negeri. Akibatnya masih banyak masyarakat yang berangkat secara non prosedural. Karena itu, pria yang juga akrab dipanggil Gede ini menyarankan agar para pejabat pengantar kerja aktif dan konsen tentang informasi pasar luar negeri.
“Pengantar kerja harus memahami dan mensosialisasikan ke masyarakat perubahan peraturan dari UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ke UU Nomor 18 Tahun 2017 tanggal 22 November 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” imbau Gede.
Dulunya memang rekrutmen CPMI dilakukan oleh PL seperti yang diatur pada UU No. 39 Tahun 2004, sehingga peran pemerintah sangat sedikit. Namun dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2017, maka proses rekrutmen hsrus melibatkan desa dan disnakertrans Kota/Kabupaten.
“Tidak ada lagi perekerutan yang dilakukan oleh PL atau sponsor/calo perorangan, tetapi dilakukan oleh perusahaan yang punya ijin dan job order bersama pemerintah desa/dusun dan Kabupaten/kota,”tegas mantan Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB ini.
Selain edukasi dan pencegahan yang harus dilakukan para pejabat pengantar kerja, pengawas dan para penyidik PNS, maka langkah yang tidak kalah pentingnya adalah penegakan hukum terhadap para pelaku perseorangan atau perusahaan yang melakukan proses penempatan secara non prosedural.
” Pencegahan tanpa diikuti penegakan hukum, akan sia-sia saja proses pemulangan yang kita lakukan. Kasusnya akan terus berulang, dan pelakunya akan semakin berani,” tegas Aryadi.
Penegakan hukum ini penting untuk memberikan efek jera kepada para pelaku, sekaligus juga untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menempuh jalur prosedural agar terhindar dari resiko kejahatan.
Jika penegakan hukum ini menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), maka kejahatan PL atau Calo pelaku kejahatan non prosedural PMI ini, seringkali bebas karena sangat sulit dalam pembuktiannya. Terlebih modus penempatan non prosedural ini menggunakan celah perbedaan hukum antar negara. Dimana warga diberangkatkan dengan visa kunjungan, kemudian setibanya dinegara tujuan maka para jaringan sponsor illegal ini mereka melakukan konversi visa, dari visa kunjungan menjadi visa kerja dan izin tinggal/bekerja.
Karena itu para pelaku kejahatan ini perlu ditindak sesuai dengan ranah Disnakertrans yaitu penegakan UU No. 18 Tahun 2017. Sesuai pasal 81, maka para pelaku kejahatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak lima belas miliar rupiah.
Aryadi menjelaskan saat ini pihaknya bekerja sama dengan Polda NTB dan Satgas PPMI Provinsi NTB telah melakukan proses penegakan hukum terhadap 7 kasus pelaku kejahatan CPMI Non Prosedural.
Dari 7 kasus tersebut, jelas Aryadi terdapat 3 orang telah di vonis oleh Pengadilan Negeri Lombok Tengah, yaitu 3 orang calo yang melakukan perekrutan untuk ke Polandia, dengan vonis pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan subsider denda masing-masing Rp. 1.000.000.000,( Satu Milyar rupiah ).
Sedangkan 2 kasus sedang proses penyidikan dan telah ditahan oleh Polda NTB, dengan modus kejahatan melakukan proses perekrutan kepada puluhan warga NTB untuk di kirim secara non prosedural ke Timur Tengah sebagai PRT, padahal penempatan PRT kawasan tersebut sudah ditutup sejak tahun 2015. Kedua pelaku ini masing-masing berasal dari Lombok Tengah dan Lombok Barat. Kemudian juga ada 2 orang pelaku lainnya yang sudah dilaporkan ke aparat Hukum dan dalam proses pemeriksaan. Pelaku berasal dari Dompu dan Kabupaten Sumbawa.
“Ini menjadi pertama kali di seluruh Indonesia dan akan menjadi yurisprudensi dalam penegakan hukum pada kasus berikutnya. Penegakan hukum ini menjadi salah satu langkah konkrit Pemda NTB dan Kabupaten/kota untuk mewujudkan program Zero Unprosedural PMI asal NTB “, terang Aryadi.
Ia menegaskan bahwa pejabat pengawas ketenagakerjaan dan pejabat pengantar kerja memiliki peran strategis dalam mengawal program zero unprosedural PMI. Menurutnya, dalam penegakan hukum, para pejabat pengawas dan pengantar kerja bisa tampil menjadi saksi ahli. Bahkan dalam proses penyidikan, Aryadi menjelaskan selain penyidik dari kepolisian, maka penyidik PNS juga bisa melakukan proses penegakan hukum bersama aparat penegak hukum lainnya sebagaimana Pasal 78 UU No. 18 Tahun 2017.
“Kita harus memberdayakan pengawas penyidik PNS ini. Sebagai bentuk upaya dan komitmen kita untuk melindungi warga sekaligus dalam mencegah PMI Non-Prosedural untuk mewujudkan NTB Zero Unprosedural PMI,” tutup Aryadi.
Sementara itu, dalam laporannya Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kerja Moh. Ikhwan kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah petugas dan pejabat pengantar kerja sudah melaksanakam tugas dengan baik. Ia mengatakan jabatan pengantar kerja sangat urgent.
“Mereka adalah job fair hidup, petugas dan pejabat pengantar kerja harus terus bergerak. Mereka sebagai konsultan ketenagakerjaan yang berada di 3 sisi, yaitu pemerintah, P3MI dan masyarakat. Oleh karena itu, tugas pengantar kerja sangat strategis,” ungkap Ikhwan.
Petugas pengantar kerja berfungsi juga sebagai server, yaitu menyambung komunikasi dengan Disnakertrans Kabupaten/Kota. Tugas pokok pengantar kerja adalah melakukan pelayanan, seperti pelayanan antar kerja dan menyajikan data. Serta melakukan perencanaan terhadap Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) dan melakukan pelayanan terkait informasi pasar kerja.
“Mari ubah pola-pola lama. Petugas dan pejabat pengantar kerja melakukan evaluasi kepada P3MI apakah betul-betul melakukan tugasnya. Selain itu, bekerja sama dengan P3MI melakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana menjadi PMI yang prosedural. Dengan cara ini diharapkan jumlah PMI unprosedural semakin menurun,” harap Ikhwan.