Penyelesaian Masalah Lahan Transmigrasi, Harus didukung data & informasi Akurat

Program Transmigrasi di Provinsi NTB memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat dalam mengubah taraf hidup menjadi lebih baik. Program transmigrasi di NTB pertama kali dilakukan tahun 1980, penempatan di Kabupaten Dompu bagi warga transmigran dari Lombok. Program ini telah berhasil mengatasi masalah penduduk miskin sebanyak 10.776 KK. Namun disamping keberhasilan tersebut, masih ditemukan adanya sedikit persoalan lahan yang hingga kini belum clear and clean.
Total Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Provinsi NTB seluas 23.027,91 Ha diantaranya untuk Kab. Sumbawa 17.358,94 Ha, Kab. Dompu 2.222,20 Ha, Kab. Bima 3.155,33 Ha, Kab. Lombok Timur 117,32 Ha, dan Kab. Lombok Tengah 174,12 Ha. Adapun progres penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Provinsi NTB Tahun 2015-2021 dari 6.782 bidang, 1.689 bidang sudah terbit SHM dan 5.093 belum terbit yang tersebar di 6 Kabupaten (15 lokasi).
Target usulan penerbitan SHM Provinsi NTB Tahun 2022 sebanyak 2.225 bidang yang ada di 5 Kabupaten, yaitu Kab. Sumbawa di Brang Lamar (Lunyuk) 200 bidang, Kab. Bima di Sori Panihi SP.3 sebanyak 500 bidang, Sori Panihi SP. 4 sebanyak 159 bidang, Sori Panihi SP. 1 sebanyak 200 bidang, Sori Panihi SP. 2 sebanyak 696, Kab. Dompu di Taropo sebanyak 14 bidang, Kab. Sumbawa Barat di Tongo SP. 2 sebanyak 16 bidang, dan Kab. Lombok Tengah di Mekarsari sebanyak 240 bidang dan di Batu Jangkih sebanyak 200 bidang.
Dalam rangka memfasilitasi percepatan penyelesaian status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) transmigrasi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) transmigrasi, Disnakertrans Provinsi NTB mengadakan Rapat Koordinasi (Rakor) Percepatan Penyelesaian Sertifikat Hak Milik Transmigrasi di Ruang Rapat Kantor Disnakertrans Prov. NTB, Kamis (03/11/2022).
“Sinkronisasi dan validasi data penting dilakukan agar beban-beban penerbitan SHM yang ada di 19 provinsi bisa selesai sesuai dengan target waktu yang telah ditentukan dan berharap tahun 2024 sudah selesai,” ujar Direktur Pengembangan Satuan Pemukiman dan Pusat Satuan Kawasan Pengembangan Kemendesa RI, Dr. H. Rosyid, M.Si saat membuka rakor yang dilakukan secara daring dan diikuti oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional se-Provinsi NTB, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB dan Disnakertrans se-Provinsi NTB.
Sementara itu, usulan penerbitan SHM tahun 2023 sebanyak 1.000 bidang yang tersebar di Kab. Bima ada di Sori Panihi SP. 5 sebanyak 600 bidang dan Kab. Lombok Timur di Jeringo sebanyak 400 bidang. Masyarakat Transmigran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian berhak mendapatkan hak normatif berupa Lahan Pekarangan dan Lahan Usaha dengan status Hak Milik.
“Menerima SHM merupakan hak normatif dari para transmigran. Karena itu, selama para transmigran ini belum menerima haknya, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk mengawal sampai mereka menerima sertifikatnya,” ujar Rosyid.
Berdasarkan rekapitulasi permasalahan pertanahan di Prov. NTB, terbagi menjadi: di Kab. Bima ada di 4 lokasi dengan bentuk permasalahan adalah tumpang tindih dengan perusahaan dan tumpang tindih kawasan hutan. Kab. Sumbawa ada di 3 lokasi dengan bentuk permasalahan adalah tidak ada lahan, tumpang tindih kawasan hutan dan lain-lain. Kab. Sumbawa Barat ada di 1 lokasi dengan permasalahan lain-lain. Kab. Lombok Tengah ada di 1 lokasi dengan permasalahan adalah sengketa dengan masyarakat setempat. Kab. Dompu ada di 1 lokasi dengan permasalahan adalah tumpang tindih perusahaan.
Dari permasalahan tersebut, perlu diklasifikasikan mana permasalahan yang termasuk kasus berat, sedang dan ringan. Untuk menyelesaikan permasalahan tanah transmigrasi, maka perlu memenuhi persyaratan, seperti kelengkapan dokumen, lahan transmigrasi, SHM, peta, penganggaran kegiatan, upaya penanganan, dan komitmen Pemda.
“Perlu kerja keras dari teman-teman pemerintahan di jajaran pusat hingga seluruh pemerintah yang bertanggung jawab di teknis lapangan. Seluruh sektor harus ikut berkoordinasi dan berkolaborasi. Harus ada konfirmasi data di masing-masing Kabupaten untuk mengklarifikasi bagian mana yang sudah selesai dan belum,” tutup Rosyid.
Dalam pemaparannya, Kadisnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H mengungkapkan bahwa kawasan Transmigrasi NTB yang paling banyak belum mendapatkan SHM ada di Bima. Karena itu, penting untuk melakukan identifikasi masalah.
Menurut Aryadi selain ada tumpang tindih lahan dan lahan yang masuk kawasan hutan, ada juga permasalahan yang bersumber dari warga transmigran sehingga statusnya sebagai transmigran dibatalkan seperti memindahtangankan lahannya, meninggalkan lahannya, tidak mengelola aset produksi bantuan pemerintah, melalaikan kewajiban sebagai transmigran, dan menelantarkan tempat tinggal / fasilitas yang telah diberikan.
Selain itu, ada juga masalah lain yang terjadi di hulu pada saat pendataan. Dari data, ada tanah yang seharusnya diberikan ke warga transmigran tapi faktanya tanah tersebut ternyata sudah dikuasai pihak lain. Seharusnya permasalahan tidak diselesaikan di ujung saja, tapi juga harus dari hulu. Masalahnya, permasalahan ini banyak yang sudah lama terjadi, sehingga banyak data yang tidak lengkap.
“Koordinasi antar lintas sektor harus dibangun dengan prinsip menyelesaikan dengan cara terbaik, bermusyawarah, dan mengutamakan fakta real di lapangan,” tutur Aryadi.
Menurut Aryadi, banyak data yang ditemukan tidak valid di lapangan tapi di laporan dikatakan valid. Karena itu, fakta di lapangan harus dicari. Koordinasi dan kolaborasi antara pihak terkait harus segera dibangun untuk memperoleh data yang lengkap terkait permasalahan yang dihadapi di lapangan. Begitu ada informasi yang berkembang kita harus sigap mencari kebenarannya seperti apa, pembiaran informasi yang beredar akan dianggap suatu kebenaran oleh masyarakat, tegas Aryadi.
Pemerintah memiliki instrumen untuk menyelesaikan permasalahan lahan ini. Instrumen tersebut harus didukung data yang valid. Jumlah lahan di Provinsi NTB yang belum terbit SHM sebanyak 4.733 bidang dengan rincian: Kab. Lombok Tengah sebanyak 440 bidang, Kab. Lombok Timur sebanyak 400 bidang, Kab. Sumbawa sebanyak 683 bidang dan Kab. Bima 3.210 bidang.
“Kami berharap instansi yang menangani permasalahan kawasan transmigrasi ini betul-betul melakukan identifikasi permasalahan. Kita harus turun bersama. Jangan sampai di BPN, Kehutanan dan transmigrasi memiliki data yang berbeda-beda. Sehingga target penerbitan SHM tahun 2022 ini bisa tercapai,” harap mantan Irbansus pada Inspektorat Prov. NTB ini.
Saat ini sudah ada pedoman dan panduan untuk menyelesaikan masalah Transmigrasi seperti Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Permendes No. 11 Tahun 2017 tentang Penataan Perserbaran Penduduk di Kawasan Transmigrasi dan PP No. 3 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian.
“Sepanjang kita bisa menyajikan data yang lengkap dan otentik, progres dan update informasi sesuai kondisi di lapangan, maka bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan atau pelaporan masalah kepada pimpinan,” ujar Aryadi
Mantan Kadis Kominfotik NTB tersebut sangat konsen dalam menyelesaikan permasalahan transmigrasi. Ia bahkan mengungkapkan komitmen dan kesiapannya untuk turun langsung ke lapangan menyelesaikan kasus.
“Saya siap kapan pun dibutuhkan. Seperti kemarin penyelesaian kasus lahan di Lombok Tengah. Ternyata setelah saya turun meninjau, ada kesalahpahaman. Dan setelah kita luruskan, selesai permasalahannya,” tegas Aryadi.
Sementara itu, Kepala Kanwil BPN Prov. NTB yang diwakili oleh M. Kadir Abdul Jailani menyampaikan bahwa Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi dan Kabupaten mengkoordinasikan upaya penanganan sengketa dan konflik agraria dengan membuat skala prioritas kasus. Prioritas 1 yang permasalahannya sedikit dan kemungkinan besar dapat kita selesaikan di tahun 2022. Prioritas 2 yang bisa di selesaikan di tahun 2023. Dan prioritas selanjutnya yang perlu ditangani dengan intens.
Tahun 2021, penyelesaian kasus lahan transmigrasi pada tahun 2022 ditargetkan sebanyak 2.225 bidang. Namun nyatanya meski telah melakukan penyuluhan, permasalahan transmigrasi terutama di wilayah Bima sampai bulan oktober 2022 belum bisa selesai.
“Kami berharap kerjasama seluruh pihak agar sama-sama berkoordinasi dan berkolaborasi dalam penyelesaian kasus transmigrasi terutama di Bima,” harapnya.