Perlindungan bagi Pekerja mandiri, Pekerja Rentan & Usaha Kecil diusulkan diatur Dalam Perda Ketenagakerjaan
DPRD Provinsi NTB menggelar Focus Group Discussion (FGD) 6 buah Raperda Usul Prakarsa DPRD Provinsi NTB di Hotel Aruna, Jumat (11/11/2022). Salah satu diantara ranperda prakarsa DPRD Provinsi NTB tersebut adalah Raperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. NTB I Gede Putu Aryadi, SH, MH saat menjadi narasumber pada kegiatan FGD yang dimoderatori, Raden Nuna dari Fraksi PDIP mengusulkan agar perlindungan bagi Pekerja mandiri, Pekerja Rentan & Usaha Kecil seperti pedagang kaki lima, pedagang kios dan usaha mikro kecil lainnya diatur Dalam Perda Ketenagakerjaan.
Tak hanya itu, mantan Kadis Kominfotik ini juga mengingatkan pentingnya ada pengaturan mengenai pemberdayaan dan pemanfaatan pekerja lokal dalam lingkup provinsi secara proporsional sesuai kompetensi yang dibutuhkan pada setiap usaha atau investasi yang ada di daerah sehingga warga didaerah benar-benar merasakan manfaat dari investasi tersebut, khususnya dalam hal penyediaan lapangan kerja.
Menurutnya, Peraturan Daerah tentang Ketenagakerjaan harus mengacu pada peraturan per-UU-an yang lebih tinggi, yaitu UU Ketenagakerjaan beserta PPnya.
“Ketika didalam UU sudah diatur secara konkrit dan detail, mungkin tidak perlu lagi kita atur di dalam Perda. Namun yang perlu diatur adalah hal-hal yang dalam UU belum tergambar jelas atau ada hal-hal baru yang menjadi kebutuhan dan kewenangan bagi Pemda,” ujar Aryadi.
Berikut beberapa masukan yang dipaparkan Aryadi sebagai pengayaan substansi dari rancangan Perda ketenagakerjasn inisiatif DPRD Provinsi NTB, antara lain:
Pertama, Mengusulkan agar Perda ini tidak hanya mengatur tentang tenaga kerja formal, tetapi juga perlu mengatur tentang Tenaga Kerja Mandiri (TKM). Tenaga Kerja Mandiri seperti buruh, pedagang asongan, petani, nelayan dan lainnya memiliki tingkat pendapatan yang rendah dan tidak memiliki hubungan kerja. Karena itu tenaga kerja mandiri yang sebagian besar merupakan pekerja rentan ini perlu mendapatkan perhatian.
“Mereka ini kelompok yang sangat rentan dan belum mendapatkan perlindungan. Jika suatu saat pekerja ini sebagai tulang punggung keluarga mengalami musibah, maka otomatis satu keluarga itu sudah dipastikan akan kehilangan sumber pendapatan dan jatuh miskin, anak-anaknya bisa putus sekolah dan ini bisa berdampak pada generasi berikutnya,” ungkap Aryadi.
Sesuai dengan INPRES No. 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Pemerintah dituntut untuk mempunyai konsen dan komitmen untuk mengatasi kemiskinan ekstrim. Menurut Aryadi, kemiskinan terjadi karena tenaga kerja mandiri atau rentan ini belum mendapatkan bantuan dan perlindungan yang memadai.
Karena itu, sangat penting menurutnya agar di dalam Perda ini diatur tentang Perlindungan terhadap Pekerja Mandiri atau pekerja rentan Sehingga nantinya jika ada masalah, bisa dilakukan penanganan secara komprehensif.
“Ini merupakan bentuk kepedulian dan perlindungan pemerintah tidak hanya terhadap pekerja rentan dan keluarga pekerja rentan tersebut, tetapi juga terhadap generasi bangsa Indonesia ke depan,” harap mantan Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB ini.
Oleh karena itu, perlu pendataan pekerja rentan oleh Pemda. Jangan sampai Pemda tidak memiliki data yang memadai yang berakibat sulit untuk mengambil langkah kebijakan dalam menyelesaikan masalah. Dengan adanya data dan informasi yang lengkap, kita bisa melakukan penanganan pembangunan Ketenagakerjaan secara lebih komprehensif.
Ini penting diatur di Perda agar jelas mana yang menjadi porsi pemerintah dan porsi swasta atau perusahaan dalam kewenangan. Jika porsi pemerintah, maka perlu diatur agar pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk iuran Ketenagakerjaan ini bagi pekerja rentan.
Kedua, terkait penyelesaian hubungan industrial non litigasi, Disnakertrans ingin menambahkan pasal bahwa pemerintah daerah wajib menyiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang memadai untuk penyelesaian hubungan industrial di luar pengadilan atau non litigasi.
Ketiga, penggunaan Tenaga Kerja Asing bagi pemberi kerja orang perseorangan, perlu ada pembatasan dan pelarangan untuk memperkerjakan TKA. Selanjutnya mengenai penempatan tenaga kerja dan prioritas perluasan tenaga kerja. Belum ada penjelasan terkait keberpihakan dan proporsi pemberdayaan tenaga kerja lokal, atau pengaturan agar setiap investasi atau perusahaan besar di daerah mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal, tentu dibarengi dengan komitmen pemerintah daerah dan juga perusahaan untuk menyiapkan tenaga kerja kompeten sesuai kebutuhan perusahaan secara proporsional.
“Ini seringkali menjadi pertanyaan ketika ada investasi di daerah, berapa porsi yang kita sediakan untuk tenaga kerja lokal. Tentu konsekuensinya adalah Pemda menyiapkan sumber daya manusia atau tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan dunia industri,” tutur Aryadi.
Disnakertrans Provinsi NTB saat ini telah bekerjasama dengan DUDI (Dunia industri) untuk melakukan proses pelatihan pola magang yang memadukan proses belajar di kelas dan praktek langsung di dunia industri sehingga begitu peserta selesai pelatihan akan bisa langsung diserap oleh dudi. Selain itu peserta juga diberikan sertifikat yang dikeluarkan oleh BNSP.
Karena itu, Aryadi menyampaikan usulan pada Pasal 13 (b) terkait program penyiapan kompetensi tenaga kerja, perlu ditambahkan klausul mengenai program pemagangan baik Pemagangan dalam negeri maupun luar negeri. Sebab pelatihan menggunakan pola pemagangan dalam negeri maupun luar negeri ini dinilainya lebih efektif untuk menyiapkan tenaga kompeten dan langsung terserap dalam dunia usaha. Aryadi juga menjelaskan para peserta pemagangan ini, setelah selesai mengikuti program magang di dunia usaha dan industri, mereka juga diberikan kesempatan mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi. Dengan sertifikat atau lisensi profesi itu, mereka bisa bersaing di pasar kerja global maupun nasional pada jabatan atau posisi-posisi penting.
Keempat adalah usulan perbaikan perlindungan keselamatan kesehatan kerja. Di pasal 79 Raperda ketenagakerjaan yang disusun DPRD disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perusahaan.
Aryadi mengusulkan klausul tersebut diubah dan dilengkapi menjadi setiap perusahaan wajib melaksanakan :
(a) Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan kerja bagi tenaga kerja secara berkala baik bekerja sama dengan unit pelayanan kesehatan kerja milik pemerintah maupun milik swasta. (b) pemeriksaan pengujian K3 secara berkala. (c) Sistem Manajemen K3 atau SMK3 di perusahaan perlu diatur atau ditegaskan.
Sementara itu, narasumber dari Fakultas Hukum Unram, Dr. H. Sofwan, SH, MH yang ditunjuk sebagai tim ahli DPRD dalam pemaparannya menyampaikan pihaknya luput membahas terkait pekerja mandiri di dalam Raperda tentang Ketenagakerjaan. Masukan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB akan menjadi catatan penting yang akan ditambahkan dalam raperda ketenagakerjaan ini. Terkait, penempatan tenaga kerja dan prioritas perluasan tenaga kerja dan persentase penggunaan tenaga kerja lokal yang belum ada di dalam Raperda menjadi catatan penting juga.
“Harus ada peraturan yang mengakomodir tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pelatihan kerja bagi masyarakat,” kata Shofwan.
Dalam sesi diskusi Rahmatullah dari Kabupaten Bima menyampaikan bagaimana perlindungan jaminan sosial bagi pemilik usaha kecil, seperti pemilik kios. Apalagi dengan banyaknya perusahaan retail yang lambat laun bisa mematikan industri kecil. Padahal peraturan perundang-undangan hadir untuk mensejahterakan masyarakat. Jadi, perlu ada peraturan yang menjamin perlindungan bagi pemilik kios.
Hal senada ditanyakan juga oleh Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) NTB Usman bahwa pekerja di sektor UMKM belum diatur di dalam raperda. Kami ingin bukan LPK saja yang memberikan pelatihan, tetapi lembaga kursus dan pendidikan bisa melatih juga. Karena bukan hanya LPK yg bisa memberikan pelatihan.
Menjawab pertanyaan tersebut, Kadisnakertrans menyampaikan untuk kios-kios juga dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja mandiri. Karena jika disebut perusahaan, kios belum memiliki registrasi, sehingga pemilik kios termasuk pekerja mandiri. Oleh karena itu, kami masukkan perlindungan sosial bagi pekerja mandiri kedalam raperda.
“Ini juga perlu diberikan perlindungan mulai dari penyiapan kompetensinya sampai dia juga mengembangkan usaha produktivitas usahanya,” tutur Aryadi.
Terkait lembaga yang memberikan pelatihan, Aryadi menyampaikan bahwa baik BLK, LLK, dan LPK bisa memberikan pelatihan kepada masyarakat. Bahkan sekarang ada BLK Komunitas. Semua itu disebut Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Terkait pelatihan kerja ranahnya kemnaker, kalau kursus ranahnya kemendikbud.
Saat ini BLK telah bertransformasi menjadi Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP). Lembaga ini tidak hanya melatih dari sisi skill dan kompetensi saja tapi juga melatih manajemen, melakukan bimbingan dan pendampingan kewirausahaan serta mengarahkan menjadi wirausaha mandiri, termasuk untuk Pedagang kios dan UMKM lainnya.
Selain itu, Aryadi juga mengusulkan agar dalam Perda Ketenagakerjaan ini diatur perlindungan sosial untuk tokoh masyarakat dan tokoh agama atau pemimpin informal yang menjadi panutan. Seperti budayawan, RT/RW, pekasih, dan sebagainya.