Pimpinan harus Jadi “SOP Hidup” dalam menerapkan aturan & Budaya K3
Perlindungan kesejahteraan para pekerja terutama terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah memahami bahwa budaya K3 pada dasarnya adalah strategi dalam upaya perlindungan pekerja dan keberlangsungan usaha sekaligus aspek penting bagi dunia usaha tetap produktif dengan tetap menjaga keselamatan dan kesehatan para pekerja.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H mengungkapkan agar penerapan K3 menjadi budaya bagi masyarakat, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan edukasi tentang apa itu K3 dan manfaat K3 kepada masyarakat.
“Ketika setiap pekerja, pengusaha dan warga masyarakat memiliki pengetahuan tentang K3, kemudian merasakan manfaat dari ilmu tersebut untuk kepentingan keselamatan diri dan keluargannya, maka ia akan tumbuh kesadaran untuk menjadikan K3 sebagai sebuah kebutuhan dan kebiasaan hidup. Sehingga lama kelamaan K3 akan tumbuh menjadi kesadaran kolektif dan kebutuhan bersama atau Budaya,” tutur Aryadi saat menjadi narasumber pada kegiatan Diskusi tentang K3 dengan Thema : Terwujudnya Budaya K3 Guna mendukung keberlanjutan Proses bisnis Ketenagalistrikan”. di PLN UIW NTB, Jumat (03/02/2023).
Menurut Aryadi, semua yang terlibat dan berhubungan dengan usaha atau suatu pekerjaan, harus paham dan sadar betul tentang pentingnya K3, karena setiap usaha pada dasarnya memiliki resiko. Resiko itulah yg harus diidentifikasi dan kemudian dilakukan mitigasi resiko.
“Para pimpinan disetiap perusahaan dan badan publik harus bisa menempatkan dirinya sebagai figur contoh dlm menerapkan K3. Selain SOP, rambu-rambu keselamatan dan peraturan tertulis diatas kertas yang perlu dibuat dan diintrodusir kepada setiap orang ditempat kerja, maka para Pimpinan juga ibarat “SOP Hidup” yang harus menjadi teladan dalam menerapkan aturan atau rambu rambu keselamatan dalam perusahaan,” ujar Aryadi.
Sebaliknya kepada para pekerja, Aryadi mengajak untuk menumnuhkan semangat mencintai setiap pekerjaan atau tugas yang diberikan, sehingga dapat melakoni tugas tersebut dengan tulus dan penuh tanggungjawab serta menikmati setiap proses atau tantangannya. Jika diawali dengan rasa kecintaan, maka akan tumbuh budaya kerja yang baik, budaya tertib dan penuh spirit untuk sukses.
Selain itu, perusahaan perlu memberikan reward kepada pegawai yang taat, berprestasi dan inovatif dalam penerapan K3. Berikan penghargaan untuk pegawai yang telah memberikan kontribusi dalam terpeliharanya K3 di perusahaan. Serta membuat penegakan aturan atau punishment bagi yang melanggar dengan memberikan sanksi meskipun belum terjadi kecelakaan. Perlu diingat bahwa dalam memberikan punishment tetap mengedepankan pendekatan humanis.
“Tentunya sanksi yang diberikan harus sesuai porsi yang ditetapkan dalam peraturan perusahaan. Hal ini sebagai peringatan agar lebih meningkatkan kesadaran pekerja tentang pentingnya menaati aturan untuk mencegah kecelakaan kerja,” tutur Aryadi.
Mantan Irbansus pada Inspektorat NTB tersebut juga mengungkapkan pentingnya peran keluarga dan lingkungan dalam budaya K3. Jika keluarga atau lingkungan seorang pekerja memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya K3 maka pekerja itu akan lebih disiplin dalam menerapkan K3 saat bekerja. Karena keluarganya dapat mengingatkannya untuk selalu berhati-hati. Oleh sebab itu, Aryadi menyarankan agar perusahaan juga perlu memberikan edukasi tentang pentingnya K3 kepada keluarga pekerja.
“Adakan gathering yang melibatkan istri dan anak pegawai. Minta para isteri untuk selalu mengingatkan suaminya agar berhati-hati dalam bekerja. Ingatkan pekerja, bahwa mereka memiliki anak dan isteri yang menunggu mereka pulang dengan selamat,” imbau Aryadi.
Berdasarkan data, angka kecelakaan kerja di NTB dari tahun tahun terjadi penurunan, artinya upaya pemerintah untuk menanamkan budaya K3 ada peningkatan. Sehingga bukan hal yang mustahil NTB dapat meraih zero accident.
Untuk mencapai NTB Zero Accident, Aryadi mengungkapkan bahwa Budaya K3 sebagai upaya bersama, perlu kolaborasi seluruh pihak. Tidak bisa hanya manajemen perusahaan, tetapi masyarakat dan lingkungan harus ikut andil dalam menerapkan budaya K3.
“Mari kita tegakkan komitmen untuk mengutamakan keselamatan dalam bekerja dan berprilaku. Harus mulai dari diri sendiri, memberikan contoh kepada lingkungan sekitar, sehingga nantinya budaya K3 dapat menjadi budaya kita,” ajak Aryadi.
Terakhir, Aryadi menekankan pentingnya komunikasi dalam penerapan budaya K3. Inti permasalahan seringkali dari sumbatan komunikasi. Komunikasi internal dan eksternal harus sejalan. Karena tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan tanpa komunikasi, pungkasnya.
GM PLN UIW NTB Sudjarwo dalam sambutan pembukaannya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Kadisnakertrans NTB bahwa K3 adalah disiplin yang harus dibudayakan. PLN memiliki misi corporate adalah mencapai zero accident.
“Jadi tidak ada yang lebih berharga dari nyawa manusia. Apapun program atau rencana perusahaan, jika bertentangan dengan prinsip K3, maka tidak akan dilaksanakan atau akan di evaluasi kembali,”ujarnya.
Sementara itu, PJ Operasional K3 PLN UIP3B Sumatra, Dedek Iskandar Syahputra, yang turut hadir sebagai narasumber dalam kegiatan diskusi tersebut sependapat bahwa apapun sistem yang dibuat, jika tidak ada kepedulian tentang keselamatan, maka K3 tidak akan menjadi budaya. Dalam menerapkan K3 semua pekerja harus satu frekuensi. Tindakan-tindakan yang berpotensi bahaya harus dikendalikan. Penting untuk mengimplementasikan teori, salah satunya dengan melakukan sertifikasi pada alat yang digunakan.
“Safety harus dibangun dari dalam diri kita. Jangan sampai kita masuk ke dalam potensi resiko kecelakaan kerja,” ujarnya.
Dedek membagikan kisahnya yang pernah mengalami kecelakaan kerja sehingga menyebabkan tubuhnya mengalami luka bakar hingga 60%. Luka bakar tersebut bahkan masih membekas di tubuh saya. Jika terlambat dibawa ke RS Pertamina, mungkin nyawa saya sudah tidak tertolong, ungkap Dedek.
Merujuk dari pengalamannya tersebut, Dedek menyampaikan bahwa menerapkan K3 harus dimulai dari diri sendiri. Safety harus dibangun sebagai bagian aktifitas kita. Setiap pekerja ketika bekerja selalu bertindak atau memposisikan diri sebagai pengawas K3. Saling mengingatkan kepada teman kerja untuk memperhatikan rambu-rambu keamanan. Perusahaan harus menempel rambu-rambu keamanan dengan jelas.
Dedek juga menambahkan selain sertifikasi ada beberapa hal yang dilakukan untuk meminimalisir kasus kecelakaan kerja, yakni melakukan Identifikasi Bahaya, Penilaian, dan Pengendalian Resiko (IBPPR). Salah satu contoh IBPPR pada pekerjaan di ketinggian adalah sebelum memulai kegiatan,setiap orang wajib menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), yakni safety helmet dengan pengikat, safety shoes, full body harness, safety glass, sarung tangan dan lainnya.
“Semua harus peduli dengan keselamatan baik dari manajemen puncak sampai pelaksana. Safety harus dibangun sebagai suatu kebutuhan. Sebagus apapun gagasan tanpa implementasi akan percuma. Jadi, jangan sampai lengah,” tegasnya.
Pada sesi Tanya jawab, PLN Empang memberikan pertanyaan bagaimana efektifitas implementasi budaya K3 diseluruh daerah dan kolaborasi antar Disnakertrans Prov. NTB dengan PLN. Kadisnakertrans Prov. NTB menanggapi bahwa memang, jika di lihat dari angka kecelakaan kerja tahun 2021 berada diangka 140-an dan tahun 2022 kasusnya menurun. Ini harus kita atensi agar bisa mencapai zero accident, di mana peningkatan kesadaran K3 adalah kesadaran bersama. Tanpa itu tidak ada keberhasilan. Aryadi juga menekankan saat ini Disnakertrans NTB akan langsung menegur perusahaan yang tidak memiliki Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Pertanyaan selanjutnya, berasal dari PLN NTB yaitu apa aspek terpenting dalam K3. Menanggapi pertanyaan tersebut, Gede mengungkapkan hal yang terpenting adalah SOP yang dibuat oleh perusahaan/stakeholder itu sendiri. Ikuti prosesnya agar masyarakat atau semua pekerja peduli sehingga hubungan fungsional bisa seimbang.
Menutup diskusi tersebut, Kadisnakertrans kembali mengingatkan mengenai perilaku pekerja untuk mewujudkan zero accident. Menurutnya, setiap orang perlu memahami tujuan dalam bekerja sehingga dirinya mampu memahami bahaya-bahaya yang ada, yang pada akhirnya akan membentuk kesadaran untuk bekerja dengan aman agar selamat hingga pulang ke rumah masing-masing.