Proses Sebelum Penempatan menjadi fokus Pencegahan CPMI Non Prosedural.

DPRD Provinsi NTB menggelar Uji Publik 6 Raperda Usul Prakarsa DPRD Provinsi NTB di Hotel Aruna, Senin (14/11/2022). Uji Publik ini sebagai tindak lanjut dari Focus Group Discussion (FGD) 6 buah Raperda Usul Prakarsa DPRD Provinsi NTB yang dilaksanakan hari Jum’at lalu. Ada 2 buah raperda prakarsa DPRD Provinsi NTB yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu Raperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan dan Raperda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya.
Uji Publik 6 Raperda Usul Prakarsa DPRD Provinsi NTB dimoderatori oleh anggota Bapemperda DPRD Prov. NTB H. Ma’ud Adam, SH.
Ia mengatakan masalah ketenagakerjaan adalah masalah yang sangat penting, sehingga diperlukan adanya keselarasan pada isi raperda. Terkait perlindungan PMI, harus ditelaah dulu mana yang paling berat permasalahannya, apakah sebelum keberangkatan, saat penempatan atau sesudah penempatan.
Sementara itu, narasumber dari Fakultas Hukum Unram, Dr. H. Sofwan, SH, MH menyampaikan bahwa ketenagakerjaan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Terbatasnya lapangan kerja yang ada di dalam daerah, membuat masyarakat mencari pekerjaan ke luar daerah atau ke luar negeri. Salah satu bentuk perlindungan PMI sebelum keberangkatan adalah meningkatkan kualitas CPMI dengan memberikan pelatihan dan pemagangan untuk meningkatkan kompetensi pekerja.
“Menghadapi era global, kualitas pekerjapun harus meningkat. Kualitas disini tidak hanya dengan mengikuti pelatihan, tetapi harus dibekali sertifikat yang diakui oleh dunia kerja,” ujarnya.
Dalam pemaparannya sebagai narasumber, perwakilan FKIP Universitas Mataram Muhammad Saleh mengatakan PMI tidak hanya terlindungi , tetapi setelah pulang ke tanah air harus sukses. Di dalam Raperda harus semakin diperjelas tentang peran pemerintah kabupaten terutama pemerintah desa.
“Pemerintah desa perlu menyediakan informasi bagaimana bekerja ke luar negeri sesuai prosedur, termasuk memiliki data P3MI yang memiliki ijin rekrut, job order dan memastikan bahwa petugas dari perusahaan merupakan pegawai resmi atau membawa surat tugas dari perusahaan penempatan. Penting ada literasi digital untuk memudahkan akses informasi,” jelas Saleh.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, MH bahwa Penanganan di hulu yakni pada proses sebelum penempatan merupakan bagian terpenting yang harus dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kasus di hilir.
Layanan di hulu menurut Aryadi dimulai dari pelayanan informasi kesempatan kerja luar negeri harus masif dilakukan, berikut persyaratan atau prosedur dan penyiapan CPMI agar memiliki skill atau kompetensi yang dibutuhkan.
Layanan informasi tersebut, harus mudah diakses dan diperoleh dari sumber yang benar atau berintegritas, dengan kata lain harus dilakukan oleh pihak pihak yang berkompeten dan punya otoritas. Jangan seperti masa lalu, warga hanya mendapat informasi sepihak dari para calo atau sponsor yang hanya ingin untung tanpa mau memperhatikan keselamatan warga kita, ujar mantan Kadis Kominfotik NTB itu.
Pemerintah daerah, menurutnya memiliki kewenangan pada saat sebelum dan sesudah penempatan atau PMI purna penempatan. Sedangkan saat penempatan menjadi kewenangan Kementerian Luar Negeri. Apalagi sekarang marak kejahatan yang dilakukan melalui media sosial. Contoh kasus PMI ilegal di Kamboja yang melakukan rekrutmen melalui media sosial.
“Penting untuk melibatkan Diskominfotik untuk segera men-take down informasi pasar kerja luar negeri yang menyesatkan/hoax. Keamanan cyber sangat penting, apalagi untuk melindungi masyarakat,” tegas mantan Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB ini.
Ia menyebut saat ini masih ada mindset di sebagian masyarakat yang menganggap bahwa proses rekrut untuk penempatan CPMI dilakukan oleh perseorangan atau Petugas Lapangan (PL) sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dalam UU 39 Tahun 2004, kata Aryadi bahwa yang berperan melakukan perekrutan dan penempatan adalah petugas lapangan (PL) atau individu yang bukan pegawai dari PJTKI, tetapi PL-PL ini bebas memungut dana dan menyalurkan CTKI ke PJTKI yang mereka kehendaki. Sehingga peran pemerintah daerah untuk mengontrol proses rekrutmen dan penempatan TKI menjadi sangat kecil.
Namun sejak UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, istilah PL tidak ada lagi karena proses rekrutmen harus melibatkan pemerintah Desa dan Disnaker kab/kota setempat. Sehingga dapat dipastikan warga yang berangkat betul-betul memenuhi syarat.
“Tapi fakta di lapangan, PL-PL dulu itu tetap beroperasi hingga sekarang, itulah yang disebut sebagai calo/mafia. Masyarakat masih memandang PL sebagai petugas resmi dari perusahaan. Padahal mereka bukan petugas dari perusahaan, menyampaikan informasi sepihak, penuh iming-iming, belum tentu perusahaan yang mereka sebutkan memiliki job order,” ungkapnya.
Oleh karena itu, informasi kesempatan luar negeri harus bisa diakses sampai ke tingkat desa dan dusun. Perda perlindungan PMI ini harus dikuatkan sampai di tingkat desa. Perlu adanya cerita sukses PMI secara masif ke masyarakat agar menjadi menjadi contoh CPMI berangkat sesuai prosedur. Selain perlindungan PMI sebelum keberangkatan, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam melakukan pemberdayaan PMI purna.
Dalam Sesi diskusi Hj. Masnah dari Dinas Koperasi dan UMKM Kab. Lombok Timur menyampaikan tahun 2018 PMI banyak bermasalah. Padahal Desa Lenek Daya merupakan Desa Migran Produktif (Desmigratif). Seharusnya dengan adanya Desmigratif, kasus PMI bermasalah bisa berkurang. Namun kenyataannya tidak demikian.
APJATI Kab. Bima Mas’ud berharap APJATI semakin dilibatkan sebagai upaya perlindungan PMI. Menjadikan APJATI sebagai mitra pemerintah, karena APJATI paling mengetahui informasi tentang PMI.
Kabid Penempatan Disnakertrans Kota Mataram, menanyakan masih adanya PL (petugas lapangan) yang diatur dalam Raperda Perlindungan PMI yang bisa merekrut PMI seperti yang tercantum pada UU nomor 39 tahun 2004. Padahal dalam UU Nomor 18 Tahun 2017, proses rekrutmen dilakukan perusahaan yang punya ijin rekrut bersama pemerintah desa. Jadi tidak ada peran PL, karena PL sebagaimana UU 39 bukan merupakan petugas dari perusahaan, tetapi calo.
Karena itu, ia mengusulkan agar klausul PL tersebut dihapus dan disesuaikan UU No. 18 tahun 2017.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Muhammad Saleh mengatakan raperda ini perlu diselaraskan, dan berbagai masukan dari peserta akan sangat berguna sebagai bahan perbaikan dan penyelarasan tersebut.
Saleh juga sependapat perlunya mempertegas peran di hulu, yaitu peran pemerintah desa dalam melakukan upaya – upaya preventif dan sosialisasi untuk mencegah PMI non prosedural. Desa sebagai ujung tombak untuk edukasi warga agar berangkat secara prosedural Di Provinsi NTB ada 20 Desa Migran Produktif.
“Sebenarnya itu pilot project yang bagus, namun sayang tidak dilanjuti. Kembali ke niat awal, yaitu perkuat peran desa sebagai ujung tombak akses informasi bagaimana menjadi PMI yang prosedural,” tutupnya.