Disnakertrans ajak Satgas perkuat komitmen pencegahan TPPO melalui langkah nyata.
Dalam upaya memperkuat perlindungan terhadap Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Barat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB menggelar Diseminasi Perlindungan CPMI/PMI. Acara yang merupakan bagian dari komitmen pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan maksimal bagi para pekerja migran, baik sebelum, selama, maupun setelah masa penempatan ini dilaksanakan di Aula Disnakertrans Provinsi NTB pada Kamis (15/08/2024).
Acara ini dihadiri oleh perwakilan Disnakertrans Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB, BP3MI, Polda NTB, Bhabinkamtibmas, Babinsa, serta P3MI dari Kabupaten/Kota di Provinsi NTB. Kehadiran berbagai pihak ini menunjukkan keseriusan dan komitmen bersama dalam memberikan perlindungan yang menyeluruh kepada pekerja migran asal NTB.
Dalam diseminasi ini, para peserta mendapatkan pemaparan dari para narasumber yang ahli di bidangnya: Ali Tsabith Kholidi, Subkoordinator Bidang Pelindungan PMI Sebelum dan Setelah Bekerja, Kabag Bin Ops Dit. Reskrimum Polda NTB, I Putu Bagiartana, S.H., M.I. Kom., dan Dr. Any Suryani Hamzah, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Kepala Disnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos., M.H., dalam sambutan pembukaannya mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu realisasi atas perintah Presiden yang meminta semua lapisan masyarakat untuk bergerak lebih cepat dan responsif dalam melakukan langkah-langkah preventif bagaimana mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang selama ini sudah menelan banyak korban.
“Kalau di Polda itu ada namanya Satgas TPPO, Nah Disnakertrans juga punya, namanya Satgas PPMI. Di mana kedua institusi/lembaga ini, baik Satgas TPPO maupun Satgas PPMI sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu agar bisa memberikan perlindungan yang nyata bagi setiap warga kita, terutama CPMI/PMI,” ujar Aryadi.
Aryadi mengungkapkan banyak kasus TPPO modusnya adalah proses rekrutmen yang tidak sesuai dengan prosedur dan penempatan non-prosedural. Bahkan akhir-akhir ini banyak kasus terjadi di lembaga pendidikan, pemagangan hingga di universitas.
“Karena itu penting bagi kita untuk membangun komitmen bersama. Bukan hanya sekadar komitmen di atas kertas, tetapi bagaimana kita mengimplementasikan komitmen tersebut dalam langkah-langkah nyata yang bisa kita lihat dan ukur hasilnya,” imbau Aryadi.
Aryadi mengungkapkan dalam satu bulan terakhir, terjadi peningkatan kasus pencegahan pekerja migran non-prosedural di Malaysia Timur, dengan sekitar 30 orang akan dipulangkan. Kasus-kasus serupa juga terjadi di Brunei Darussalam dan beberapa daerah lain. Modus yang digunakan dalam kasus-kasus ini sering kali melibatkan pengiriman tenaga kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian awal.
Selain itu, dalam periode 2023-2024, Disnakertrans Provinsi NTB juga telah menangani 68 kasus TPPO dengan kerugian yang cukup besar. Beberapa di antaranya melibatkan perusahaan yang tidak memiliki izin resmi untuk melakukan rekrutmen pekerja migran.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah vonis 8 tahun penjara dan denda 300 juta kepada Direktur Cabang PT. PSM karena penyalahgunaan job order dan izin rekrut.
“Oleh karena itu, kita harus lebih waspada dan memastikan bahwa semua proses rekrutmen berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Kita juga perlu lebih ketat dalam pengawasan dan penegakan aturan,” tegas Aryadi.
Dalam upaya memberantas PMI non-prosedural, Disnakertrans NTB mencanangkan program zero unprocedural PMI. Salah satu kebijakan yang diterapkan yaitu dengan mewajibkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki kantor cabang di NTB agar dapat dipantau dan dilacak oleh dinas setempat.
Selain itu, P3MI juga wajib menyampaikan ke Disnakertrans minimal per triwulan. Jika tidak memenuhi kewajiban ini, maka pihaknya merekomendasikan perusahaan tersebut ditutup operasionalnya di NTB. Langkah ini, menurut Aryadi, berhasil menurunkan kasus PMI non-prosedural di NTB selama tiga tahun terakhir.
Sejak dicanangkan program Zero Unprocedural PMI tahun 2021, Disnakertrans NTB semakin giat melakukan edukasi, diseminasi, dan sosialisasi dengan melibatkan Kepala Desa, Satgas, Bhabinkamtibmas, dan seluruh instansi terkait tentang permasalahan CPMI ini.
“Pencegahan PMI non-prosedural harus dimulai dari hulu, yaitu Kepala Desa dihimbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi. Kita harus tegas dan komitmen dalam menangani masalah PMI, karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini,” tegasnya.
Banyak kasus PMI terjadi karena permasalahan transisi ketentuan, dari yang awalnya menggunakan UU No. 39 Tahun 2004 dengan rekrutmen CPMI dilakukan oleh PL atau calo, menjadi UU No. 18 Tahun 2017, yang rekrutmen CPMI dilakukan oleh Petugas Antar Kerja yang ditunjuk perusahaan dan berlangsung di kota/kabupaten sehingga tidak ada lagi istilah PL.
“Peralihan mindset dari UU No. 39/2004 ke UU No. 18/2017 ini yang harus dibangun karena masih banyak P3MI masih menggunakan UU 39/2004 sehingga banyak CPMI terjerumus oleh oknum yang mengatasnamakan PL,” himbau Aryadi.
Disnakertrans NTB juga telah mengajukan beberapa usulan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Salah satu poin yang disoroti Aryadi adalah kurangnya sanksi pidana terhadap P3MI yang melanggar aturan. Ia menekankan bahwa ketentuan sanksi pidana bagi P3MI perlu diperkuat. Menurutnya, di UU No. 18 tidak ada kekuatan memaksa yang bisa digunakan untuk melelang kekayaan pelaku/pemilik usaha sehingga bisa menggantikan kerugian korban.
Lebih lanjut Aryadi mengungkapkan selain regulasi, salah satu kendala yang dihadapi Satgas PPMI saat ini adalah belum adanya dukungan dana operasional yang memadai sehingga dapat menghambat untuk menjalankan tugas-tugas dengan efektif.
“Kita perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah pusat, untuk memastikan bahwa Satgas ini dapat bekerja dengan optimal,” ujar Aryadi.
Menutup pembukaannya, Aryadi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, pusat, dan seluruh stakeholder terkait dalam menangani masalah PMI. Ia berharap agar upaya yang telah dilakukan Disnakertrans NTB dapat terus ditingkatkan dan diperkuat dengan dukungan regulasi yang lebih efektif.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara kita yang bekerja di luar negeri. Ini adalah tugas kita bersama, dan kita harus bekerja keras untuk memastikan bahwa semua pekerja migran kita terlindungi dan mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang ada,” tutupnya