Disnakertrans paparkan strategi pencegahan TPPO pada Rapat Asistensi Pol PP Nasional
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., menjadi narasumber pada rapat asisten Polisi Pamong Praja (Pol PP) Nasional pada Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan topik “Identifikasi Perusahaan Keberangkatan PMI”. Kegiatan ini diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri di Hotel Golden Palace Mataram, Rabu (14/08/2024).
Dalam paparannya, Aryadi menyoroti sejumlah tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh Provinsi NTB terkait pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI). Menurutnya, untuk meminimalisir kasus non prosedural dan/atau TPPO perlu mengutamakan upaya preventif yang melibat kolaborasi seluruh pihak, termasuk Satpol PP.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Aryadi menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja di NTB saat ini mencapai 3,01 juta jiwa, dengan pertumbuhan angkatan kerja baru antara 160 hingga 200 ribu orang setiap tahunnya.
“Besar dan terus bertambahnya angkatan kerja baru setiap tahunnya tentu akan berpengaruh pada angka pengangguran, apalagi kesempatan kerja dan investasi di NTB sangat terbatas. Secara faktual, jumlah perusahaan besar di NTB ini sangat terbatas, dan mayoritas pekerja di NTB masih berada di sektor informal,” ujar Aryadi.
Aryadi menjelaskan bahwa sekitar 1,8 juta tenaga kerja di NTB bekerja di sektor informal, sementara hanya sekitar 700 ribu yang bekerja di sektor formal. Kondisi ini, menurutnya, bisa menjadi masalah besar jika tidak ditangani dengan baik, terutama jika tidak ada upaya untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja agar dapat bersaing di pasar kerja dalam dan luar negeri.
“Satu-satunya cara untuk menghindari masalah ini adalah dengan menyiapkan angkatan kerja yang kompeten. Ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus melibatkan banyak sektor, termasuk dunia usaha. Dunia usaha juga punya kewajiban untuk menyiapkan angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri, baik kesempatan kerja dalam negeri naupun luar negeri.
Terkait pasar kerja luar negeri, Aryadi mengungkapkan, Provinsi NTB merupakan pengirim PMI terbanyak ke-4 di seluruh Indonesia. Jumlah PMI NTB di luar negeri sebanyak 589.023 orang yang tersebar di 108 negara penempatan dengan 18 negara tujuan paling favorit antara lain Malaysia, Taiwan, Hongkong, dan Jepang.
“Sebagai lumbung PMI, tentu saja banyak permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu, sejak Tahun 2021 Pemprov. NTB meluncurkan Program Zero Unprosedural PMI dan berkolaborasi dengan stakeholders terkait untuk meminimalisir kasus PMI dan memberantas mafia PMI,” terangnya.
Dalam upaya memberantas PMI non-prosedural, Disnakertrans NTB mewajibkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki kantor cabang di NTB agar dapat dipantau dan dilacak oleh dinas setempat. Selain itu, P3MI juga wajib menyampaikan ke disnakertrans minimal per triwulan. Jika tidak memenuhi kewajiban ini, maka pihaknya merekomendasikan perusahaan tersebut ditutup operasionalnya di NTB. Langkah ini, menurut Aryadi, berhasil menurunkan kasus PMI non-prosedural di NTB selama tiga tahun terakhir.
“Disnakertrans NTB dan Polda NTB sudah menangani 68 kasus dengan 100 orang tersangka yang diduga terlibat dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus rekrutmen dan penempatan CPMI non prosedural,” ungkapnya.
Kasus-kasus yang melibatkan PMI, menurut Aryadi, sering kali disebabkan oleh kurangnya informasi yang tepat di kalangan masyarakat.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengawasan, Disnakertrans NTB membangun jaringan koordinasi dengan aparat desa, termasuk Babinsa dan Bhabinkamtibmas, yang menjadi ujung tombak dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Aryadi juga menyinggung tentang pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai prosedur resmi bekerja di luar negeri yang lebih mudah dan memberikan perlindungan yang lebih baik. Ia mengingatkan bahwa prosedur resmi tidak sulit dan melindungi PMI dari eksploitasi oleh calo atau pihak yang tidak bertanggung jawab.
Disnakertrans NTB juga telah mengajukan beberapa usulan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Salah satu poin yang disoroti Aryadi adalah kurangnya sanksi pidana terhadap P3MI yang melanggar aturan. Ia menekankan bahwa ketentuan sanksi pidana bagi P3MI perlu diperkuat. Misalnya, apabila jaminan deposito P3MI tidak mencukupi, maka aset perusahaan harus disita hingga mencukupi nilai kerugian CPMI/PMI. Disnakertrans NTB juga mengusulkan agar sanksi pidana ditambahkan kepada P3MI yang mengalihkan CPMI ke P3MI lain tanpa izin yang sah.
Aryadi juga mengkritisi regulasi dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO yang dianggap masih memiliki beberapa kelemahan krusial. Ia menyebut bahwa regulasi ini, meskipun secara normatif terlihat lengkap, namun dalam praktek di lapangan masih ditemukan sejumlah kelemahan. Misalnya, dalam hal pengaturan terhadap korporasi yang terlibat dalam TPPO, Aryadi menilai bahwa regulasi ini belum mampu menjangkau pelaku korporasi secara efektif.
“Korporasi ini sulit untuk dijerat. Karena unsur perbuatan dan unsur secara TPPO, cenderung menyudutkan pelaku di lapangan. Bukan perusahaan yang melakukan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kelemahan dalam mekanisme pemblokiran aset pelaku TPPO yang diatur dalam UU TPPO. “Dalam UU TPPO, tidak ada pengaturan yang lebih lanjut mengenai mekanisme pemblokiran aset. Akibatnya, upaya pemblokiran sering kali tidak dapat dilakukan, sehingga korban tidak mendapatkan ganti rugi yang layak,” jelasnya.
Aryadi menekankan bahwa perlu ada perumusan ulang norma-norma dalam UU TPPO agar pelaku korporasi tidak dapat berkelit dari tanggung jawab. Ia juga menyebut pentingnya restitusi bagi korban TPPO, yang sayangnya dalam praktik di lapangan sering kali tidak berjalan dengan baik karena kendala dalam penyitaan aset pelaku.
Selain itu, Aryadi juga menyinggung tentang rendahnya pengetahuan masyarakat yang berdampak pada ketidakmampuan mereka mengenali modus penipuan yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Ia menceritakan kasus seorang ibu dari Desa Anjani yang dijanjikan akan bekerja di Abu Dhabi, namun ternyata dibawa ke Suriah dan menghadapi berbagai masalah di sana.
“Pengetahuan hukum di masyarakat kita masih rendah, sehingga banyak korban yang tidak merasa sedang menjadi korban. Mereka sering kali tidak memiliki akses informasi, pengetahuan, apalagi keterampilan yang memadai,” ujar Aryadi.
Aryadi juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus-kasus di mana pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan dengan korban.
“Ini adalah masalah yang kompleks, terutama ketika pelaku dan korban berada dalam lingkaran keluarga yang sama. Korban seringkali merasa tertekan dan enggan melaporkan kekerasan yang dialami karena adanya rasa takut dan tekanan sosial dari lingkungan keluarga,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya peran LPSK dalam memberikan perlindungan dan dukungan psikologis yang memadai bagi korban, terutama dalam situasi di mana korban dan pelaku memiliki hubungan kekerabatan. Tanpa perlindungan yang tepat, korban bisa mengalami trauma yang lebih mendalam dan kesulitan dalam mengakses keadilan yang mereka butuhkan.
Aryadi menggarisbawahi tantangan dalam koordinasi antara lembaga perlindungan dan penegak hukum. Ia menyoroti kelemahan koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan aparat penegak hukum (APH), terutama dalam hal kehadiran LPSK di daerah.
“LPSK seharusnya memiliki perwakilan di daerah untuk memudahkan perlindungan korban, bukan hanya di pusat. Ketika korban memerlukan perlindungan, mereka sering kali harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan bantuan, yang menghambat proses pemulihan mereka,” ungkap Aryadi.
Ia menegaskan bahwa tanpa dukungan yang memadai dari LPSK di daerah, proses perlindungan dan restitusi bagi korban menjadi tidak efektif, sehingga menyulitkan korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan yang seharusnya mereka terima.
“Banyak masyarakat kita yang terjebak sebagai PMI ilegal di luar negeri tidak berani pulang ke Tanah air, ke kampung halamannya karena takut ditagih kembali uang yang sudah dikasih calo,” ungkapnya.
Dalam Pasal 60 UU No. 18 Tahun 2017 mengatur bahwa masyarakat, termasuk Satpol PP, memiliki peran penting dalam mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural. Masyarakat diharapkan ikut serta dalam memberikan informasi, melakukan pengawasan, dan melaporkan kepada pihak berwenang jika menemukan dugaan adanya praktik TPPO atau pengiriman PMI yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Menutup paparannya, Aryadi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, pusat, dan seluruh stakeholder terkait dalam menangani masalah PMI. Ia berharap agar upaya yang telah dilakukan Disnakertrans NTB dapat terus ditingkatkan dan diperkuat dengan dukungan regulasi yang lebih efektif.
“Kami mengajak masyarakat untuk selalu mengawasi jika ada perekrutan kerja ke luar negeri dan untuk selalu mengikuti prosedur resmi agar terhindar dari masalah dan bisa bekerja dengan aman di luar negeri,” pungkasnya.