Disnakertrans : Kami terus mendorong Penerapan upah berbasis Produktivitas.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui penguatan kebijakan pengupahan yang berbasis produktivitas. Hal ini disampaikan oleh Kepala Disnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., saat menjadi narasumber dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengupahan Berbasis Produktivitas, yang diselenggarakan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI bekerja sama dengan Disnakertrans Provinsi NTB di Hotel Lombok Plaza, Rabu (23/10/2024).
Acara yang berlangsung selama tiga hari, dari 23-25 Oktober 2024 di Lombok Plaza, Mataram, dihadiri oleh sekitar 50 perwakilan HRD dari perusahaan-perusahaan di wilayah NTB dari berbagai sektor, seperti perhotelan, ritel, jasa keuangan, konstruksi, makanan minuman, dan media pers. Para peserta yang diundang adalah perusahaan yang telah menerapkan struktur dan skala upah di tempat kerja masing-masing.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kemnaker RI yang diwakili oleh Koordinator Pengembangan Pengupahan, Andi Awaluddin, S.Sos., dalam sambutan pembukaannya menekankan pentingnya penerapan pengupahan yang berlandaskan produktivitas melalui Struktur Skala Upah (SuSu) untuk menjaga keharmonisan hubungan industrial dan meningkatkan daya saing perusahaan.
“Dalam rangka mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, perusahaan diharapkan tidak hanya menetapkan upah minimum sebagai dasar pengupahan. Struktur dan skala upah harus disusun berdasarkan produktivitas pekerja dan kemampuan perusahaan,” ujar Andi.
Andi menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 yang mengubah PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, mewajibkan perusahaan untuk menyusun struktur dan skala upah berdasarkan produktivitas. Ia juga menyebutkan bahwa metode penyusunan struktur dan skala upah diserahkan kepada perusahaan, dengan pilihan mulai dari metode sederhana hingga metode yang lebih kompleks.
“Penyusunan struktur dan skala upah ini merupakan hal yang wajib. Ada sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban penyusunan struktur dan skala upah. Sanksi tersebut berupa sanksi administratif hingga penghentian sebagian produksi perusahaan,” tegasnya.
Selain itu, Andi juga menyampaikan bahwa pemerintah sedang merumuskan kebijakan baru terkait alih daya (outsourcing) dan kemitraan kerja. Diharapkan kebijakan ini akan selesai dan mulai diterapkan pada tahun 2025.
“Kebijakan terkait alih daya, termasuk untuk sektor jasa seperti katering dan keamanan, sedang dirumuskan dan akan diterapkan dalam waktu dekat. Pemerintah juga akan mengeluarkan peraturan terkait hubungan kerja kemitraan, terutama di sektor digital dan jasa,” pungkas Andi.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos., M.H., mengucapkan terima kasih kepada Kemnaker RI yang telah mengadakan kegiatan yang membantu perusahaan di NTB dalam memahami dan menerapkan pengupahan berbasis produktivitas yang sesuai dengan regulasi.
Menurutnya, pengupahan berbasis produktivitas sangat penting sebagai solusi untuk menciptakan keadilan bagi pekerja yang telah lama bekerja di perusahaan. Karena itu, pihaknya terus melakukan pembinaan dan mendorong perusahaan agar menerapkan dan menyusun struktur dan skala upah sehingga mampu menerapkan sistem pengupahan yang berbasis produktivitas. Ia menekankan bahwa sistem pengupahan yang selama ini fokus pada Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sering kali tidak adil bagi pekerja berpengalaman yang memiliki kompetensi dan etos kerja tinggi.
Sesuai Pasal 26 PP Nomor 51 Tahun 2023, formula perhitungan Upah Minimum mencakup 3 variabel yaitu Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Tertentu (disimbolkan dalam bentuk α). Setiap daerah memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda, sehingga parameter penentuan upah tidak bisa disamakan antara daerah yang berpenduduk banyak dengan daerah yang kecil atau terpencil.
“Selama ini masih banyak perusahaan yang menjadikan UMP dan UMK sebagai standar gaji/upah. Padahal, UMP-UMK hanya berlaku untuk pekerja baru,” tuturnya.
Aryadi menyebutkan bahwa berdasarkan data WLKP Online, jumlah perusahaan di NTB sebanyak 27.983, dan yang sudah menerapkan SuSu hanya 375 perusahaan. Harapannya, makin banyak perusahaan yang menerapkan SuSu sehingga bisa mensejahterakan pekerja dengan upah yang layak, berkeadilan, dan berkelanjutan karena akan berdampak pada hubungan industrial yang harmonis.
Ia juga menegaskan bahwa hubungan industrial yang baik harus didasarkan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik bagi pekerja maupun perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan memiliki kewajiban untuk mematuhi norma ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah, sementara pekerja diharapkan dapat memberikan kontribusi produktif bagi perusahaan.
“Kita harus terus bergerak menuju pengupahan berbasis produktivitas. Perusahaan tidak mungkin membayar upah tinggi jika pekerjanya tidak produktif. Begitu juga sebaliknya, pekerja yang produktif tentu berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan,” imbau Aryadi.
Dalam paparan materinya, Aryadi menyampaikan bahwa penyusunan skala upah tidak bisa lepas dari analisis jabatan, evaluasi jabatan, dan beban kerja. Tidak mungkin pekerja yang beban kerjanya tinggi dan risiko kerjanya tinggi akan memperoleh upah/gaji yang sama dengan pekerja dengan risiko dan beban kerja rendah. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu mengukur produktivitas pekerjanya berdasarkan kompetensi dan tanggung jawab yang mereka emban agar perusahaan dan pekerja memiliki acuan yang jelas terkait target dan kompensasi.
“Beban, kondisi, dan risiko kerja adalah hal yang mendasar dalam penyusunan struktur dan skala upah,” tegas mantan Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB tersebut.
Aryadi mengungkapkan bahwa selama 3 tahun terakhir, di bawah kepemimpinannya, Disnakertrans Provinsi NTB terus berupaya mendengarkan masukan dari berbagai pihak, baik dari HRD perusahaan maupun serikat pekerja.
Beberapa permasalahan yang kerap terjadi di lapangan terkait pengupahan, seperti kasus keterlambatan pembayaran upah, perbedaan pendapat mengenai jumlah upah, serta ketidaktahuan pekerja maupun perusahaan terkait aturan insentif.
“Dalam banyak kasus, masalah pengupahan berlarut-larut karena kurangnya komunikasi yang baik antara perusahaan dan pekerja. Kami selalu mendorong agar konflik diselesaikan melalui dialog dan mediasi, sehingga tidak perlu sampai ke pengadilan, yang tentunya akan memakan biaya dan waktu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan mediasi sangat bergantung pada kesadaran perusahaan untuk memahami kondisi pekerja, begitu juga sebaliknya, pekerja harus memahami kemampuan perusahaan.
Aryadi juga menyoroti banyaknya tenaga kerja kompeten dan berpengalaman di NTB yang tidak dibekali lisensi atau sertifikat kompetensi profesi. Karena itu, tahun lalu Disnakertrans telah mengusulkan pembentukan LSP P3 di NTB dan sudah dihubungkan dengan BNSP.
Disnakertrans juga telah mendorong pelaksanaan sertifikasi dengan pola stimulus. Tahun lalu, Disnakertrans memberikan dana stimulus kepada asosiasi HRD NTB untuk melakukan sertifikasi kompetensi P3 bagi para HRD. Sebanyak 48 HRD mengikuti bimtek tersebut dan telah lulus.
Dengan berbagai langkah strategis yang telah diambil, Aryadi optimis bahwa Provinsi NTB akan terus bergerak maju dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kesejahteraan pekerja.
“Keadilan bukanlah memberikan upah yang sama rata, tetapi upah yang sesuai dengan kinerja dan tanggung jawab. Ini yang perlu dipahami oleh perusahaan, sehingga mereka dapat menyusun skema pengupahan yang lebih adil dan memotivasi pekerja untuk terus meningkatkan kapasitas diri,” tutup Aryadi.